Saya ingin bercerita tentang cinta. Suatu kali seorang rekan
bercerita bahwa sampai beberapa tahun berpacaran, dia masih belum yakin bahwa
pacarnya mencintai dengan tulus. Sebagai seorang wanita yang cukup aktif dengan
berbagai kegiatan dan punya banyak koneksi, teman saya itu sudah sering bertemu
dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan motivasi. Dunia yang
empiris mengajarinya melihat manusia juga dengan praktis. Setiap orang punya kepentingan,
demikian ungkapnya.
Beranjak dari pengalamannya, diapun menilai pacarnya yang
sekarang memiliki kepentingan dengan mau berpacaran dengannya. Sebelum berpacaran dengan pacar yang
sekarang, teman saya ini pernah punya kesimpulan bahwa pacaran atau punya suami
itu tidak penting. Kesimpulan tersebut muncul setelah dia putus dengan pacarnya
yang lama. Cukup lama dia menikmati
pendapatnya tanpa berpacara sampai akhirnya datang seorang pemuda yang memberi
pengertian baru tentang baiknya hidup punya pacaran dan punya pasangan. Pemuda tersebut adalah pacarnya yang
sekarang. Akan tetapi, setelah berberapa tahun pacaran, teman saya masih juga
belum yakin bahwa pacarnya memacarinya dengan ketulusan cinta, tanpa ada pamrih
apapun. Beberapa pertanyaan yang sering muncul adalah : Apakah pacarku ini
memacari karena punya kepentingan kemudahan relasi ? Apakah dia memacariku
semata karena aku punya banyak relasi ? Suatu pertanyaan tentang relasi.
Menanggapi hal itu, saya menimpali bahwa tidak ada orang
yang tidak berpamrih. Semua orang berpamrih. Jangan terburu-buru untuk menilai
! Pamrih di sini saya gunakan sebagai suatu kata netral, dengan makna yang
sejajar dengan motif. Setiap orang punya motif dalam bertindak. Motif bisa
dinilai negatif maupun positif dalam
kacamata moral. Mungkin saja ada orang berpacaran karena pacarnya punya mobil
sehingga ada yang bisa antar jemput. Ada juga orang berpacaran karena tertarik
dengan hobi pacarnya sebagai fotografer sehingga bisa difoto terus. Apapun
tindakannya, selalu ada motif yang menyertai. Tanpa harus cepat menilai suatu
pamrih, semua orang itu berpamrih.
Oleh karena itu, perlu ditanyakan bila ada pendapat yang
mengatakan bahwa orang perlu bertindak tanpa pamrih, mungkinkah hal itu
dilakukan ? Mari dilihat sedikit demi sedikit. Dalam tindakan manusiawi seperti
makan, minum, sex, ke belakang, tidur, semuanya didorong dan dilakukan demi
suatu motif tertentu yaitu pemenuhan kebutuhan manusiawi. Makan karena lapar,
minum karena haus, ke WC karena kebelet. Bila diperluas lagi, tindakan manusia
seperti olahraga, mengetik, menyopir, semuanya punya tujuan. Bagaimana dengan
tindakan seni ? melukis, bermain music ? Orang ingin mengekspresikan
perasaannya dengan music, menikmati music demi sesuatu. Ada motif dalam tindakan,
entah motif tersebut dianggap luhur atau rendah oleh tata nilai tertentu.
Mungkin penggunaan kata “pamrih” lebih condong pada motif yang dianggap rendah
oleh tata nilai moral masyarakat. Bila demikian adanya, biarlah saya gunakan
kata motif daripada pamrih. Tiap orang punya motif, entah motif pribadi, surga,
atau orang lain.
Saya tidak ingin berjalan bersama dengan Derrida yang
merefleksikan “ketidakmungkinnan memberi tanpa mengharapkan imbalan”. Kembali
saya ingin masuk dalam cerita cinta. Kepada teman saya itu, bila semua orang
punya motif, apakah ada yang salah bila memasukkan motif dalam CINTA ? misalkan
saja, saya mencintai pacar saya karena dia cantik, karena dia pandai, karena
dia cocok dengan pemikiran saya. Atau juga, saya mencintai pacar saya walaupun
dia miskin, walaupun dia bodoh, walaupun dia kuper. Perubahan kata “karena” menjadi
“walaupun” adalah perubahan sudut pandang. Walaupun sama-sama punya motif bila
ditanya, preferensi penggunaan kata “walaupun” memberikan penekanan pada penilaian
cinta. Orang akan lebih merasa dicintai bila ungkapan yang muncul lebih
bernuansa “walaupun” daripada bernuansa “karena”. Dan cinta yang semacam itu,
dipraktekkan dan dilakukan oleh kebanyakan orangtua, terutama para ibu.
Cinta para ibu terhadap anak-anak mereka dihubungkan oleh
suatu “karena” yaitu relasi ibu-anak. Akan tetapi, cinta yang diberikan ibu
kepada anak, tetap saja akan diberikan dalam situasi “walaupun”. Dan di sini letak tantangan bagi mereka yang
mencintai. Teman saya itu menambahkan bahwa sekarang yang dia inginkan adalah
kenginan untuk lebih banyak memberi, lebih banyak mencintai. Dia lebih ingin
punya anak yang bisa dia cintai, bisa dia beri sesuatu, daripada punya pasangan
yang seringkali menimbulkan tanya tentang suatu cinta yang “karena”. Semoga teman saya itu semakin mendalami
cintanya dengan pacarnya, saling mencintai “walaupun” dan berjuang dalam
cita-cita bersama. Selamat berjuang dalam cinta !
2 komentar:
Setelah membaca tulisan ini, Lek Narto jadi terbukakan. Ternyata cinta yang didasari "karena" juga bisa dinilai sebagai cinta tulus, tanpa pamrih ataupun motif. Orang tua saya pernah mengatakan " Yen wong tuo ki ora iso tego karo anak, tapi anak terkadang iso tego karo wong tuo".
sarujuk kang
Post a Comment
Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.