April 01, 2010

Memilih untuk Percaya

“Apakah logika itu sebenarnya ?
Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal ?”

(John Nash)

Pertanyaan dari peraih nobel dalam film A Beautiful Mind (2001) ini kembali terngiang saat ini. Sudah 8 tahun yang lalu aku menontonya, tapi sengaja kutonton lagi. Mulanya, seorang kawan merekomendasi film Shutter Island (2010) yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Selesai menonton, aku malah ingat dengan A Beautiful Mind.

Dalam pergumulannya dengan obsesi menemukan otentisitas diri dan penemuan yang orisinal, John Nash bertemu dengan sosok-sosok yang tidak nyata, yang oleh banyak orang John disebut mengidap Scizophrenia. Teman bayangan itu ada di dalam pikiran Nash, tetapi dia menganggapnya ada sehingga yang nyata dan yang tidak nyata menjadi kabur. Muncul sosok idaman sebagai akibat dari harapan yang sangat besar dan gambaran tentang situasi yang sangat didambakan. Ada teman sekamar yang tiba-tiba muncul, ada gadis kecil yang menemani, juga ada tokoh misterius yang memberi tugas memecahkan kode rahasia. Tiga sosok itu, bisa jadi obsesi John Nash yang tak bisa diwujudkan dalam kenyataan. Pengalaman menerima kenyataan selama hidupnya direkam dalam usaha untuk mengenyahkan bayangan tersebut.

Manusia selalu mencari pegangan, mencari kepastian di dunia ini. Matematika adalah simbol kepastian dalam pencarian tersebut. Saat John Nash mencoba mematematikakan segala sesuatu, bahkan cinta, ia sampai pada jalan buntu. Ia meminta bukti atau jaminan bahwa relasinya dengan pacarnya membawa kepastian kesetiaan jangka panjang. Hal apa yang bisa menjadi bukti akan cinta ? Ia mulai belajar satu hal yaitu memilih untuk percaya dan berkomitmen. Dinamika yang disebut komitmen inilah yang tidak bisa ditembus oleh matematika Si Jenius John Nash.

Walau begitu, John tidak bisa menghilangkan bayangan yang menghantuinya. Bayangan yang menemaninya tidak bisa dihilangkan langsung. Sampai akhir hidupnyapun, dia masih dihinggapi bayangan tersebut. Ketika ia tidak lagi dapat menghilangkan gambaran itu, dia memilih untuk tidak menghiraukannya lagi. Bayangan, obsesi, imaji yang diciptakannya telah menjadi nyata sehingga dia sendiri tidak bisa menghilangkannya. Ketika sudah sampai pada ketidakmampuan membedakan kenyataan, pilihan jatuh pada “diet pikiran”, memilih yang paling baik baginya.

Menerima kenyataan adalah suatu pilihan. Pilihan untuk menerima kenyataan. John memilih untuk menerima kenyataan dengan cara ”diet” pikiran. Dia memilih tidak menghiraukan sosok-sosok imaginer yang mendatanginya. Hanya dengan cara demikian, dia berdamai dengan dirinya sendiri.

Mungkin inilah gambaran jalan menuju penemuan diri seorang anak manusia. Suatu pilihan dijatuhkan sebagai turning point menerimaan diri. Seorang Musa yang tak pandai bicara memutuskan untuk menerima tugas dari Allahnya. Seorang manusia Yesus yang akan dihukum mati, memilih untuk taat dan memasrahkan diri pada kehendak DIA Yang mengutusNya. Seorang Muhammad yang mengatakan tidak bisa membaca, memutuskan untuk mengikuti anjuran Malaikat Jibril.

Ada satu saat di mana manusia tidak bisa menggunakan kekuatan logikanya untuk menembus pengalamannya sendiri. Di situ yang dibutuhkan adalah pilihan untuk menerimanya, semata-mata memilih untuk menerima. Di situ, manusia mungkin akan berucap ”Aku memilih untuk menerima” yang juga berarti, ”Aku memilih untuk percaya”

....Telah kudapat penemuan paling penting dalam hidupku. Hanya di persamaan misterius cinta, alasan logis dapat ditemukan. Aku di sini karenamu, kau alasan diriku untuk ada. Kaulah semua alasanku....

8 komentar:

Unknown said...

keren ter... kie baru download...
aman kan pertamax... hahahha

gusmel said...

jadi pengen liat mas...

*dudah-dudah lemari kaset*

Anonymous said...

Frater,saya tak bisa bayangkan andai dulu Jesus Christ tidak nmemilih untuk percaya pada kehendak Bapanya,bisa jadi hari Paskah tak pernah ada,Sugeng Paskah kagem sedaya kemawon,apa jadinya bila beliau memilih untuk tidak memilih ?ter,menarik juga untuk dikenang film"contac" yang dibintangi Jodie foster dan Mathew mac cousaughey tentang cinta dan Tuhan yang tak bisa dilogika.

Mahatma said...

@daniel : wah, pertamax juga ki hehehe...
@ gusmel : dah ketemu blom ?
@ anomymous : terimakasih, tak goleki "contact"...punya gak ?

Anonymous said...

kang Atma,kapan-kapan ulas ya tentang film"the curious case of Benyamin Button" yang dibintangi Brad pit,saya salut tentang film filosofi ini kang, yakni cinta itu tiada akhir, bagaimana seorang"belahan jiwa" mencintai dalam berbagai situasi dari sudut pandang masa kanak-kanak teman sebaya sosok ibu angkat bagus frater,buat pelajaran hidup ,memberi tahu kita tentang mencintai dengan keihlasan,dalam segala situasi,bahwa cinta itu bisa sama saja dan tiada akhir meskipun cara kita mencintai bisa berubah tergantung situasi,misal kita mencintai seseorang yang hidup selibat,tentu cara kita mencintai akan beda dengan cara kita mencintai ketika dia masih belum mengucap"kaul selibat"?

Mahatma said...

@ anonymous : oke, kelihatannya udah pernah nonton film itu,
siap.

Anonymous said...

makasih,kang,saya juga suka lho,film baru tentang kesetiaan tanpa pamrih seekor anjing di JEPANG yang sangat mengharukan(film baru)starring by Richard gere,tentang "a beautiful mind " kagum banget sama kesetiaan Alice(istri John Nash)jarang ada orang bisa mencintai apa adanya apalagi "kelainan jiwa".

Anonymous said...

iya soal yg anjing akita yg diadaptasi ke hollywood dan dibintangi richard gere itu *judulnya Hachiko : a dog story* aku juga menonton secara tidak sengaja dan ternyata maknanya sangat mendalam..

ketika membaca postinganmu ini mas, dan teringat percakapan kita tadi..aku jadi terharu..
betapa indahnya cinta dan komitmen :)
terimakasih mas..

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.