sumber gambar : SINI |
Ketika menikmati novel ini, saya digiring untuk memasuki
suatu dunia seorang “aku” yang masih misterius. Baru di halaman 14, jelas bahwa
si “aku” adalah seorang laki-laki. Saya
sendiri semula mengira bahwa si “aku” adalah perempuan, mengingat penulisnya, Ayu Utami adalah seorang perempuan. Di
sini saya menyadari bahwa mengetahui latar belakang penulis bisa mengganggu
proses pembacaan.
Setelah cukup yakin bahwa “aku” bukanlah Ayu Utami, saya
mulai menikmati novel ini. Si “aku” yang kemudian jelas sebagai laki-laki
dengan sebutan Rico (dari Enriko), walau namanya Prasetya Riksa, kemudian mulai
menceritakan kehidupannya, sejak kelahirannya di tahun 1958 sampai dengan
menikah di tahun 2011. Cerita kehidupan Rico disejajarkan dengan peristiwa
bersejarah di Indonesia, mulai dari Pemberontakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) di hari kelahirannya, sampai dengan masa
Reformasi tahun 1998. Setiap ingatan yang dimunculkan dalam cerita, memiliki
cantolan sebuah peristiwa sejarah, bahkan kadang dimaknai dalam kerangka
sejarah Politik Indonesia.
Cara penceritaan Ayu lewat
“aku” (yang adalah Rico) cukup panjang lebar dan ditutup dengan
kesimpulan point-point atau sebuah
pengulangan penjelasan. Hal ini mengingatkan saya pada suatu kuliah atau kotbah
yang selalu diakhiri dengan sebuah pengulangan point-point sebagai rambu-rambu plot agar pembaca tidak
tersesat. Selain itu, penekanan itu dibuat agar pembaca semakin terbiasa dengan
hal yang ingin ditegaskan oleh penulis (Ayu Utami).
Otonomi sastra
Kenikmatan pembacaan saya itu kemudian kembali terganggu
dengan penyebutan tempat dan kejadian yang membawa saya kembali menghubungkan
dengan kehidupan pribadi penulisnya. Penyebutan nama Komunitas Utan
Kayu, Nama “A” sebagai kekasih Rico, membuat saya tergoda untuk menghubungkan
dengan Ayu Utami dan menggiring saya percaya bahwa ceritera ini adalah ceritera
tentang orang yang pernah berelasi dengan Ayu Utami, bahkan menggiring untuk
membentuk suatu dunia kebenaran tentang ceritera Rico sebagai sebuah ceritera
yang benar-benar dialami oleh seorang kekasih Ayu yang kemudian menjadi
suaminya. (Suami Ayu bernama Erik Prasetya).
Persoalan yang muncul adalah tentang otonomi sastra (aliran
strukturalis). Sastra dikatakan sebagai sebuah dunia yang otonom, bahkan
dikatakan oleh A. Teeuw “…karya sastra merupakan dunia yang otonom, yang tidak
terikat kepada dunia nyata dan tidak menunjuk pada dunia nyata,…” (A.Teeuw, 1983:21).
Dalam pembacaan Cerita Cinta Enrico, saya terkondisikan untuk mencari informasi
tambahan di luar novel padahal,menurut
Teeuw “ …informasi tambahan […] tidak halal kita cari di luar roman..”.
(A.Teeuw, 1983:21). Saya katakan terkondisi karena saya diarahkan untuk
melakukan analisis ekstrinsik tentang pengarang berhubungan dengan karyanya
(Cerita Cinta Enrico). Salah satu daya
tarik dari Cerita Cinta Enrico adalah bahwa pembaca dibawa pada lompatan antara
menggumuli dunia rekaan ayu dan dunia kehidupan ayu. Kesesuaian antara ceritera
dalam Cerita Cinta Enrico dengan sejarah hidup Erik Prasetya (suami Ayu) dibuka
untuk diproblematisir, namun sekaligus menjadi daya tariknya. Saya menunda
pertanyaa saya dan melihatnya sebagai kesengajaan yang menghasilkan keindahan. Kelebihan
karya Ayu ini adalah membuka pembaca untuk memunculkan banyak pertanyaan relasi
teks dan konteks.
Kembali membaca karya ini, saya masih sedikit terganggu karena
ingat tulisan Radhar Panca Dahana tentang “Kebenaran
dan Dusta dalam Sastra”. Salah satu kalimat yang saya ingat dari Radhar
adalah bahwa “Sastra adalah dusta di
dalam dirinya”. Ia menambahkan bahwa
dalam sastra, siapapun berhak mendustai siapapun. Ketergangguan saya itu berasal dari kategorisasi
saya akan konsep sastra. Ketika menjumpai sastra yang kehilangan dustanya, saya
merasakan kehilangan nuansa sastranya. Dusta telah saya anggap sebagai salah
satu kode dalam sastra. Kehilangan dusta inilah yang membuat saya mulai ragu
menamai Cerita Cinta Enrico sebagai novel, karena cenderung biografi. Memang biografipun adalah sebuah
sastra (non imaginatif), namun kehilangan dustanya. Kehilangan dusta ini, tidak
mengurangi keasyikan dan kenyamanan saya dalam membaca, namun memberikan
gambaran tentang sebuah irisan dua buah himpunan dunia dalam cerita dan latar
belakang pengarang. Saya melihat bahwa yang dilakukan oleh Ayu adalah sebuah
pelampauan kategorisasi antara yang imajinatif dan yang non-imajinatif.
Persoalan bisa diteruskan, namun saya memilih kembali membiarkannya dalam tanda
kurung demi kenikmatan pembacaan.
Authorship
Tiba di akhir pembacaan, pertanyaan-pertanyaan tentang
relasi ceritera dengan dunia kehidupan pribadi penulis terjawab. Ayu menuliskan
sebuah bab pamungkas yang bisa dilihat berkaitan, ataupun terpisah dari
keseluruhan bab, bab berjudul Catatan Akhir.
Pertanyaan saya, mengapa harus dibuat bab tersebut? Nampak bahwa Ayupun
sebenarnya bergulat dengan persoalan imaginatif-non imaginative, antara fakta
objektif dan dusta-imaji. Catatan Akhir
ini saya tangkap sebagai sebuah pembenaran atau rambu-rambu bagi pembaca untuk
meletakkan tulisan ini sebagai sebuah novel sesuai dengan maksud si pengarang.
Cara tersebut saya lihat sebagai sebuah kelemahan bagi
keseluruhan ceritera. Intervensi sengaja si penulis, Ayu, dalam hal ini telah
merusak gambaran dunia yang dibangun pembaca, sekaligus merusak keindahan
misteri yang ditawarkan sejak awal ceritera ini. Mungkin Ayu tidak tahan dengan
situasi dan resiko tegangan sehingga memilih untuk “memutuskan” tegangan
tersebut dengan otoritasnya sebagai author.
Dengan demikian, ayu, si
penulis ceritera (writer), hadir dengan
segenap otoritasnya (author). Ditambah lagi, di sampul belakang buku ini tertulis bahwa ceritera ini adalah ceritera nyata. Sebagai pembaca yang menyimpan banyak tanya,
ceritera ini bagi saya telah selesai, tak lagi membawa tanya.
Campur tangan penulis dalam ceritera ini saya tangkap
sebagai sebuah kematian teks, pembunuhan teks oleh pengarangnya. Atau menrut Derrida, disebut sebagai sebuah bunuh diri teks, ketika dia menganalisis Walter Benjamin. Teks yang
telah selesai, bagi saya adalah sebuah kematian teks karena tidak menelurkan
makna baru, tidak menawarkan suatu pemaknaan yang beragam. Pemaknaan
diputuskan oleh catatan akhir si penulis. Sebagai sebuah novel, Cerita CintaEnrico, berhasil menarik saya sebagai pembaca untuk ikut termenung bersama dengan
“aku” yang menyisir sejarah masa lalunya, namun memberikan kesan otoritatif
karena kemunculan Catatan Akhir.
Pertanyaan saya tentang cinta dalam Cerita Cinta Enrico malah belum terjawab sampai
sekarang, di samping ketertarikan saya akan tiga tema lain yang dari cerita ini
[ (1) nuansa psikologis freudiannya, (2) diskusi tentang perkawinan dan (3)
ateisme modern] . Saya akan menyimpannya sebagai sebuah PR untuk menulis di
blog ini dengan lebih teratur.
( Selesai. Berseri)
20 komentar:
thanks for your comment..i didn't see translator on your site so i couldn't read :(
-Jessica
http://www.jumpintopuddles.com
saya juga suka sekali dengan karya ayu utami... bagus banget... yang ini jug saya sudah baca...
Tks, i will make translation then
suka konsep "dusta dalam sastra" :D
karena ketika kita menulis, terutama tulisan fiksi, kita terkadang harus keluar dari diri kita sendiri
Pertama membaca saya juga mengira bahwa "aku" di buku ini cewek mas :D
di novel aku bisa laki2 apa perempuan..
Ngatmoo, saiki dadi analisis sastra. Memang mumet nek ndadak dianalisis-analisis barang. :)
@pipit pito : iya mbak, makin dusta makin josss
@dafhy : hehehe...iya, kesan yang sama
@bunga: iya sih, tergantung, tapi jadi mempengaruhi pembacaan juga
@mabukkata: eh...kang adin udah melepas kelajangan hehehe..mampir kang.
Lovely book review!
natzcracker
tks Nathalie Kartika Putri !
Nice review ☺
pling sneng bca review buku ne.. :D
thx gan dah sharing info bukux..
@Chintya Dewi : makasih mbakyu
Wah, baca review-nya jd pengen beli nih. Harganya berapa di pasaran?
kalo di gramed 50, kadang diskon jadi 47, tapi kalo di TOGAMAS bisa 40. emang bagus tuh..
Post a Comment
Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.