March 11, 2008

filsafat sebagai ilmu kritis

hari ini aku meluangkan waktu membaca kembali buku yang 8 tahun yang lalu tak baca.
Bukunya Franz Magnis Suseno Filsafat Sebagai Ilmu Kritis.
Dari sisi tata bahasa, sudah terasa kurang menarik dan kalimatnya sudah terkesan kuno.
Tetapi, mungkin saja malah menambah nuansa filosofis.
Buku yang terkenal dengan frase "di taman norma-norma"
suatu metafora tentang berbagai norma yang terhampar luas laksana taman.
di dalamnya ada kambing sebagai perusak dan ada juga tukang kebon yang menatanya.
Filsafat itu laksana kambing ? atau tukang kebon yang menata ?
Franz Magnis, memposisikan filsafat sebagai anjing yang selalu menyalak,
menggonggong terhadap setiap pembakuan norma, tetapi juga berani mengatakan sesuatu
secara tegas demi suatu keterbukaan untuk dikritik.
Jadi ada dua hal. Pertama, kritik dalam arti menimbang2 positif-negatif, atau sebut saja menilai, dan Kedua, menyatakan halnya, atau mencaritahu untuk akhirnya mengatakan sesuatu tentang kebenaran.
Dengan tulisan itu, Magnis-Suseno ingin mengkritik pemikir dan aliran pemikiran yang enggan untuk mengambil posisi. Keengganan mengambil posisi mengakibatkan imun terhadap kritik.
Aku jelas terhenyak. Sedang asyik2nya membaca Derrida kok ditanya tentang posisi.
Derrida khan sering dianggap tidak menyatakan posisi sehingga seakan-akan imun terhadap kritik. Pendapat semacam itu jelas tak berdasar. Tetapi, di sini, aku gak mau menyinggung perdebatan seputar Derrida dan pemposisiannya. Lanjutkan dulu saja cerita tentang bukunya Magnis.
Magnis mencoba menelusur dalam kerja etika. Sebagai filsafat, etika juga bersikap kritis. Ia bukan sesuatu yang beku tetapi cair. Etika itu ilmu bukan ajaran "how to". SO, Etika memang bertugas di tempat yang berbeda dengan moralitas. Magnis memposisikan etikanya dekat dengan dua tradisi yaitu Etika Diskursus Habermas dan Etika Afrika.
Dari Etika diskursus ia mengambil sisi dinamis dari etika sebagai suatu proses kesepakatan. Kekurangannya, etika macam ini kurang sesuai digunakan dalam kelompok sosial partikular.
Dari Etika Afrika, ia mengambil sisi penghormatan terhadap norma tradisional tetapi tetap terbuka pelaksanaannya dalam situasi yang konkret.
Intinya, Magnis menekankan etika yang menghargai norma tetapi juga mau terbuka untuk dialog.

Tanggapan.
Nah, sekarang aku mo nanggapi dari sisi Derrida.
Dari pengalamanku membaca Derrida dan Dekonstruksinya,
suasana yang dimunculkan Magnis itu senafas dengan yang dilakukan Derrida.
Aku tidak mau memaksakan, tetapi ada beberapa kesamaan.
Sebut saja pertama dalam tegangan menghargai tradisi di satu pihak,
dan menghargai konteks di pihak lain.
Kedua, tentang sikap kritis dan universalitas yang disyarakatkan dalam suatu etika Diskursus.
Tentang yang pertama, Derrida menyebut dengan istilah epokhe ( hampir sama dengan Husserl). Dalam diskusi tentang Keadilan, Derrida juga menyuarakan hold on bagi suatu tindak adil. Tindakan adil perlu tetap menjaga relasil dengan hukum, tetapi di lain pihak juga harus melampuainya, untuk menemukan hukum baru.
Tentang yang kedua, Dekonstruksi itu dapat disebut sebagai filsafat kritis. Ia bukan suatu ajaran yang terkalkulasi dan menawarkan cara untuk bertindak. Dekonstruksi juga dapat dilihat sebagai itu suatu penyelidikan fenomenologis. Hal ini sama dengan salah satu pengandaian etika yang dibahas Magnis.
Tentang universalitas, ini yang perlu hati-hati. Bila asumsi dari etika diskursus adalah norma yang universal, Derrida mencoba melihatnya secara berbeda. Memang ada suatu yang akan datang yang memiliki klaim yang murni (misalnya keadilan yang murni yang masih selalu akan datang), tetapi apakah akan universal atau tidak, seakan-akan Derrida menyangkalnya. Hal ini dilakukan karena setiap pemastian akan klaim universal itu sudah selalu gagal. Derrida juga tidak ingin menyatkan tentang ada tidaknya klaim universal. Mengatakan ada-tidaknya, adalah "kategori" pemikiran Being, atau Hedeggerian. Derrida menolak pemikiran ontologi Heidegger. Derrida menyatkan bahwa pemikiran tentang asumsi universal dari suatu norma itu lebih baik dipikirkan sebagai suatu kondisi kebolehjadian, atau suatu condition of possibility dari sesuatu yang universal, yang memungkinkan hadirnya yang universal. Bukan berarti yang universal itu bisa dicerap, tetapi hanya mau mengatakan bahwa yang universal itu selalu mrucut untuk diungkap. Karenanya, sulit juga untuk mendiskusikan dan menyetujui adanya hal yang universal itu tadi.

Sebagai catatan penutup.
Magnis telah meletakkan gerak dari filsafat yang selalu mengkritik segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Hal ini digarisbawahi oleh pemikiran Derrida dengan Dekonstruksinya yang selalu berusaha untuk mempertanyakan setiap pemikiran. Yang masih terbuka untuk diteliti adalah Mendekonstruksi Dekonstruksi. Secara logis, mendekonstruksi Dekonstruksi hasilnya adalah Dekonstruksi itu sendiri. Tetapi pengalaman yang bagaimana itu ? masih perlu dipelajari lagi. Tertantang ?

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.