DIKTAT ETIKA SOSIAL (rintisan)
Pendahuluan
Tulisan ini adalah diktat rintisan dalam kuliah ETIKA SOSIAL di ATMI. Kuliah ETIKA SOSIAL di ATMI memiliki relasi dengan kuliah ETIKA DASAR di tingkat sebelumnya. Sebagai kelanjutan, letak kekhasan dari kuliah ini adalah penerapan dari prinsip-prinsip refleksi etika yang sudah diterima dalam mata kuliah ETIKA DASAR. Asumsinya, pendasaran Etika yang kuat perlu dimiliki oleh peserta kuliah ini.
Yang dimaksud dengan Etika Sosial dalam kuliah ini adalah suatu refleksi sistematis, logis tentang persoalan etis di dalam ranah sosial. Webster NewWorld Dictionary merujuk kata ’sosial’ sebagai berhubungan dengan kehidupan manusia yang hidup bersama dengan manusia lain dalam satu kelompok dalam situasi saling terhubung satu sama lain yang sekaligus menentukan kesejahteraan bersama. Secara singkat, kata ’sosial’ dapat dihubungkan dengan kata manusia—hidup bersama—saling terhubung. Mengingat definisi yang sangat luas tersebut, cakupan yang terungkap dari term Etika Sosial menjadi sangat luas. Segala persoalan yang terjadi di masyarakat dapat masuk dalam kajian kuliah ini. Sekali lagi, pendasaran tentang apa itu Etika menjadi hal yang sangat penting di sini.
Pembahasan Etika Sosial dalam kuliah di ATMI memiliki kekhasan. Mengingat ATMI adalah Akademi Teknik, yang tidak berfokus pada ilmu etika, pembahasan tentang Etika Sosial di dalam kuliah ini bersifat selayang pandang. Selayang pandang yang dimaksud di sini adalah memaparkan banyak hal tetapi tidak berusaha untuk mendalami lebih jauh. Pembahasan yang dilakukan adalah sebentuk ”pencicipan” Etika. Makna selayang pandang juga mengakomodasi kekhasan lain yaitu bahwa tidak semua tema akan dibahas di dalam kuliah ini. Sesuai dengan fokus pendidikan ATMI di tingkat 2, kuliah ini dirancang untuk memberikan pemahaman serta pertimbangan yang lebih komprehensif mengenai persoalan etis yang nyata dihadapi di dunia kerja. Oleh karena itu, tema-tema yang dipilih dalam pemahasan Etika Sosial adalah tema-tema yang berkaitan dengan fokus tersebut, antara lain tentang manusia dan mesin, etika bisnis, etika pendidikan, hukum dan lingkungan hidup. Dengan kekhasan ini, diharapkan, peserta kuliah ini dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam menghadapi persoalan etis yang nantinya akan dihadapi di dunia kerja, sebagai ahli madya teknik mesin.
I. Pengandaian Dasar
Pengandaikan Dasar di sini bukanlah bermaksud kembali membahas dasar-dasar Etika, namun sekedar mengulang kembali demi kelancaran diskusi dan refleksi berhadapan dengan persoalan etis yang ditemui di dalam situasi nyata.
A. etika dan moral
Istilah Etika perlu dijelaskan terlebih dahulu. Etika adalah suatu refleksi manusia akan kegiatan yang dilakukannya. Selain itu, Etika juga merupakan ilmu yaitu ilmu tentang moralitas. Oleh karena itu, Etika juga mengikuti kaidah ilmu yaitu sistematis dan logis. Selain itu, Etika juga memiliki kekhasan yaitu sifatnya yang kritis. Etika bukanlah resep atau panduan manual yang mengatur bagaimana manusia harus bersikap dalam situasi konkret, akan tetapi memberikan pertimbangan yang lebih luas dengan dasar-dasar penilaian moral di hadapan persoalan tersebut. Yang memberikan arahan normatif tentang bagaimana manusia harus bersikap dan memilih tindakan adalah moralitas, bukan etika. Etika bersikap kritis dalam arti selalu mempertanyakan setiap klaim kebenaran moralitas laksana anjing menggonggong terhadap benda asing yang ditemuinya. Dengan demikian, tataran pembahasan lebih bersifat diskursus terus menerus tentang moralitas dalam situasi yang konkret yang selalu mengundang pertanyaan akan kebaruan. Situasi yang baru menuntut pembahasan moralitas yang juga baru. Di sinilah peran etika. Etika berusaha memberikan pertanggungjawaban tentang moralitas, terlebih memberikan alasan mengapa memilih sikap moral A dan bukan B terhadap suatu persoalan etis.
B. etika dan etiket
Pengandaikan dasar kedua yang perlu diulangi adalah perbedaan etika dengan etiket. Yang dibicarakan di sini adalah etika dan bukan etiket. Etika lebih berhubungan dengan moralitas sedangkan etiket berhubungan dengan sopan-santun. Etiket berasal dari kata etiquette sedangkan etika berasal dari kata ethics. Keduanya lain tetapi memiliki persamaan yaitu sama sama menyangkut perilaku manusia (hewan tidak mengenal etika maupun etiket). Perbedaan keduanya menyangkut
a) Etiket menyangkut CARA suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Norma Etis sendiri tidak berhentik pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.
b) Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Etika selalu berlaku, juga bila tidak ada saksi mata.
c) Etiket bersifat relatif terhadap budaya, waktu, gender dan usia. Etika jauh lebih (cenderung) absolut (bukan absolut lho).
d) Etiket memandang manusia dari segi lahiriah. Etika menyangkut manusia dari segi dalam.
C. Amoral dan Immoral
Istilah amoral seringkali dipahami sebagai tidak bermoral. Padahal dalam arti sebenarnya, amoral adalah tidak berhubungan dengan konteks moral atau tidak relevan dengan pembicaraan tentang moral. Sedangkan, arti dari immoral adalah bertentangan dengan moralitas yang bagi, secara moral buruk atau tidak bermoral.
D. moralitas : ciri khas manusia
Objek material dari kuliah ini adalah manusia dan relasinya dengan manusia lain. Relasi manusia dengan derajat yang lain seperti alam, binatang, mesin, dan lingkungan selalu dihubungkan kembali dengan manusia. Sehingga, tidak pernah kuliah ini akan membahas kebaikan atau kejahatan dari benda, semisal mesin, pada dirinya sendiri.
Moralitas adalah ciri khas manusiawi. Dalam segala zaman, sudah ditemukan pemahaman akan tentang kebaikan dan kejahatan, tentang mana yang baik dan mana yang buruk, tentang bahwa yang baik harus dipilih lebih dari yang jahat. Semua bangsa memiliki pengalaman tentang baik dan buruk, hanya saja belum ada kesepakatan tentang apa yang harus dianggap baik dan buruk. Moralitas adalah salah satu ciri kemanusiaan yang membedakannya dengan makhluk lain semisal binatang, tumbuhan. Perbedaan manusia dengan makhluk lain memang bukan hanya sisi moralnya. Masih banyak lagi perbedaan manusia dengan makhluk lain seperti rasio dan bahasa.
E. 2 macam keharusan
Moralitas sebagai suatu norma mengenal kata ”harus”. Penggunaan kata ”harus” dalam moral harus dibedakan dengan keharusan alamiah. Keharusan alamiah menggunakan dasar hukum alam, yang berarti dijalankan secara otomatis, tanpa pengawasan, terjadi dengan sendirinya. Misalnya, Telur yang dipukul dengan palu dengan keras harus pecah.
Keharusan dalam moral berbeda. Keharusan dalam moral berdasar atas hukum moral yang berarti bahwa tidak dijalankan dengan sendirinya. Ketika hukum moral berbunyi ”Karyawan harus diberi gaji yang adil”, tidak otomatis terjadi penggajian yang adil. Keharusan dalam hukum moral akan terjadi apabila seseorang mau. Dengan kata lain, moralitas berhubungan dengan kehendak seseorang.
F. 3 Pendekatan Moral
Sebagai Ilmu, etika dapat digolongkan dalam 3 bagian besar berdasarkan pendekatan yang digunakan.
a. Etika Deskriptif : melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas. Karena hanya melukiskan, etika deskriptif tidak memberikan penilaian. Etika deskriptif dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial : antropologi budaya, psikologi, sosiologi, sejarah. Etika deskriptif dibutuhkan untuk memberikan penilaian bagi etika filosofis.
b. Etika Normatif : Melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia atas dasar norma-norma. Penilaian tersebut memuat alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut sebagai baik atau buruk dan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah. Etika Normatif dibagi dalam 2 pembahasan besar :
a. Etika Umum : memandang tema-tema umum : kebebasan, hak, kewajiban, dll.
b. Etika Khusus : menerapkan prinsip etis atas perilaku manusia yang khusus.
c. Metaetika : yang dibahas bukan moralitas secara langsung akantetapi ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan dalam jajaran filsafat analitis. Contoh tema pembahasan metaetika : the is/ought question. Persoalannya: apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual ? Bila sesuatu itu ada atau merupakan suatu kenyataan (is=faktual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu itu harus atau boleh dilakukan (ought=normatif).
G. 3 Prinsip penilaian moral
Etika normatif bertolak dari pertanyaan: manakah tolok ukur terakhir untuk menilai tindakan manusia secara moral?
Dari perkembangan sejarah pemikiran tentang moralitas kita melihat bahwa kita memerlukan beberapa prinsip moral dasar. Pada prinsip ini semua norma moral yang lebih konkret harus diukur. Dari a)etika hedonisme kita melihat bahwa etika ini tidak memadai karena kalau hanya mencari nikmat saja tidak mungkin diharapkan tercapai kebahagiaan. Dari b)etika pengembangan diri, terlihat bahwa etika ini memuat sesuatu yang hakiki bagi setiap program moral: pengembangan diri merupakan tanggung jawab kita. Tetapi prinsip ini saja tidak cukup. Orang yang hanya memikirkan pengembangan diri justru tidak akan berkembang karena hanya berkisar pada dirinya sendiri. Ketertutupan ini didobrak oleh c) utilitarianisme yang punya prinsip tanggung jawab universal sebagai dasarnya: manusia wajib untuk mempertanggungjawabkan akibat-akibat tindakannya terhadap semua orang yang terkena olehnya. Tetapi utilitarianisme mempunyai kekurangan yang fatal: ia tidak dapat menjamin keadilan dan hormat terhadap hak-hak asasi manusia dan dengan dengan demikian tidak menjamin martabat manusia. Dari sini, dapat ditarik beberapa prinsip moral dasar yang sudah dikandung oleh etika tersebut. Kita mulai dari prinsip yang dikandung utilitarianisme.
Pertama, prinsip sikap baik. Kesadaran inti utilitarianisme adalah kita hendaknya jangan merugikan siapa saja. Jadi yang dituntut dari kita sebagai dasar hubungan dengan siapa saja adalah sikap baik. Kita harus mengusahakan akibat baik sebanyak mungkin dan mencegah akibat buruk. Prinsip sikap baik ini mendasari semua prinsip moral lain karena baru atas dasar tuntutan ini semua tuntutan moral masuk akal. Kalau tidak diandaikan adanya sikap baik, buat apa segala tuntutan moral yang lain?
Prinsip ini memiliki arti amat besar bagi kehidupan manusia. Sikap ini juga sudah tertanam dalam diri manusia dan mempengaruhi struktur psikis manusia. Karena ada sikap itu, kita tidak takut untuk bertemu dengan orang lain meski tidak dikenal dan tidak kuatir bahwa orang tersebut akan segera mengancam kita. Maka prinsip ini bukan sekadar prinsip yang dipahami secara rasional melainkan memang sudah menjadi kecondongan watak manusia sehingga prinsip ini memang harus meresapi segala tindakan konkret atau penilaian moral manusia.
Tetapi prinsip itu saja tidak cukup. Kita masih membutuhkan pengetahuan atau pengertian tentang realitas supaya prinsip itu kita bisa menerapkan sikap baik dalam situasi yang tepat.
Kedua, prinsip keadilan. Dari etika utilitarianisme, tampak bahwa masih ada prinsip lain yang tidak termuat di dalamnya yaitu prinsip keadilan. Prinsip kebaikan hanya menegaskan bahwa kita harus berbuat baik kepada siapa saja. Tetapi kemampuan kita untuk berbuat baik terbatas. Kemampuan untuk memberikan hati kita juga terbatas selain juga secara konkret untuk membagi hal-hal material itu terbatas. Kita tidak boleh memberikan uang yang diperuntukkan untuk pengemis kepada anak-anak. Oleh karena itu, secara logis memang harus ada prinsip tambahan yang menentukan bagaimana kebaikan yang merupakan barang langka itu harus dibagi. Prinsip ini adalah prinsip keadailan.
Apakah keadilan itu? Kita perlu merincikan keadilan karena rincian keadilan ini lebih tepat dalam etika khusus. Yang jelas, diandaikan bahwa semua orang tahu tentang keadilan. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, bahwa hanya orang yang tahu etika (dalam arti tuntutan untuk berlaku dengan baik) dapat belajar etika. Demikian pula orang yang sudah tahu keadilan dapat berbicara soal keadilan. Percuma kita mendorong orang itu untuk berbuat adil kalau ia tidak tahu tentang keadilan.
Oleh karena itu, paham sederhana tentang keadilan sudah mencukupi. Adil pada hakikatnya adalah memberikan kepada siapa saja (apa) yang menjadi haknya. Dan karena pada hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan adalah perlakuan sama terhadap semua orang dalam situasi yang sama (kalau pemerintah mau membagikan beras kepada penduduk miskin di suatu wilayah, semua keluarga berhak mendapat jatah yang sama, dengan memperhitungkan jumlah anggota keluarga. Tetapi penduduk yang mampu di daerah itu tidak perlu dibantu). Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua pihak yang bersangkutan. Semua perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil kecuali dapat diperlihatkan mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan (misalnya karena orang itu tidak membutuhkan bantuan).
Ketiga prinsip hormat terhadap diri sendiri. Apakah prinsip sikap baik dan prinsip keadilan sudah cukup? Kita dapat ambil contoh seorang gadis yang dipaksa untuk merawat orang tuanya sehingga ia justru tidak memperoleh sesuatu bagi dirinya sendiri, misalnya cinta dan perkawinan. Kita tidak akan membicarakan orang tua yang jelas melanggar prinsip keadilan. Kita akan membicarakan gadis itu. Apakah sikap baik gadis itu sudah benar secara moral? Sebenarnya gadis itu memiliki hak bahkan kewajiban untuk mengembangkan diri dan memperoleh sesuatu bagi dirinya sendiri, lepas dari penguasaan total orang tua serta menentukan hidupnya sendiri. Misalnya, dia mau kawin.
Dari contoh itu, kita harus menerima suatu prinsip moral dasar ketiga yaitu prinsip hormat terhadap diri sendiri. Prinsip ini ada dalam etika pengembangan diri yang mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri karena manusia punya martabat, kebebasan, suara hati. Prinsip ini memiliki dua arah. Pertama, kita dituntut tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak. Kita berhak menolak pemerasan, penindasan. Kedua, kita jangan membiarkan diri terlantar. Kita memiliki kewajiban terhadap diri sendiri untuk mengembangkan diri dengan bakat dan kemampuan yang ada dalam diri kita. Sikap altruisme yang berlebihan justru harus dicurigai karena jangan-jangan dia kurang percaya diri, egonya lemah, membutuhkan pengakuan dari orang lain. Hanya orang yang berkepribadian mantap bisa berkorban bagi orang lain. Tetapi memang sesekali kita butuh waktu dan kesempatan untuk mengambil waktu demi kesenangan pribadi, relaksasi dan mengembangkan diri.
H.Hakekat Etika Filosofis
Etika mulai dari kehidupan harian kita. Persentuhan indera kita dengan lingkungan di luar kita, dilakukan sekaligus dengan suatu penilaian moral. Kita melihat dengan menilai, mendengar dengan menilai, mencium dengan menilai, menyentuh dengan menilai, mencecap dengan memilai. Kita selalu sudah menilai dalam menyerap informasi lewat berita, tulisan, gambar, suara serta sentuhan. Penilaian kita tersebut menyangkut penilaian baik dan buruk. Itulah modal untuk penyelidikan etis. Penilaian yang sering kita lakukan, tidak jarang berbeda dengan orang lain. Siapakah yang lebih benar ? Pada tahap ini, diperlukan pertimbangan dan refleksi yang lebih mendalam. Kita merasakan adanya kebutuhan untuk refleksi pada saat terjadi perbedaan pendapat etis tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Di situlah etika mulai dilihat fungsinya sebagai ilmu.
Etika adalah refleksi kritis-metodis-sistematis tentang tingkah laku manusia sejauh berkaitan dengan norma dari sudut baik dan buruknya manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, ia disebut sebagai ilmu. Akantetapi, etika juga disebut sebagai filsafat. Sebagai filsafat, etika tidak membatasi diri sebagai ilmu yang empiris, yang berjalan dengan gejala konkret. Etika juga melampaui yang konkret, untuk bertanya ada apa di balik gejala konkret tersebut. Ia bertanya apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ia bertanya apakah suatu perbuatan dapat dibenarkan atau tidak. Sebagai filsafat, etika adalah filsafat yang membatasi diri pada pertanyaan ” apa itu moral?” dan pertanyaan ”apa yang harus dilakukan oleh manusia?”. Oleh karena itu, etika sering disebut sebagai filsafat praktis. Praktis karena langsung berhubungan dengan perilaku manusia. Praktis di sini bukan berarti etika adalah buku siap pakai. Bidangnya bukan teknis melainkan reflektif. Etika menganalisis tema seperti : hati nurani, kebebasan, tanggungjawab, nilai, norma, kewajiban, keutamaan, dll. Etika bergerak di bidang intelektual, tetapi objeknya langsung berkaitan dengan praktek hidup kita.
I. Situasi Etis di Dunia Modern
Tiga ciri situasi etis di dunia modern adalah :
a. pluralisme moral, nilai moral yang berbeda di dalam masyarakat yang berbeda
b. timbulnya masalah etis baru yang tak terduga sebelumnya
c. munculnya kepedulian etis yang universal
J. Moral dan Agama
Tiap agama memiliki ajaran moral bagi para pengikutnya. Ajaran moral agama dapat dibagi menjadi 2 bagian besar :
a. Ajaran detail (makanan, puasa, ibadat, dll)
b. Ajaran etis umum (jangan membunuh, jangan mencuri, dll)
Ajaran moral tersebut disebut penting karena alasan iman yaitu karena berasal dari Tuhan dan dianggap sebagai Kehendak Tuhan. Kebenaran dari iman ini, tidak dibuktikan tetapi dipercaya. Etika memandang ajaran moral itu penting karena alasan rasional. Kebenaran dari ajaran ini masih perlu diperiksa oleh rasio agar dapat dimengerti dan disetujui banyak orang. Rasionalitas dari suatu pendasaran etis diukur dari kesesuaian dengan kondisi manusia dalam situasi yang wajar. Hal ini berarti bahwa supaya rasional, pendasaran etis harus bersifat manusiawi. Selain itu, ia juga harus memperlakukan fungsi sosial dengan benar dan dihasilkan dalam situasi yang wajar (bukan perang, kemiskinan ekstrem, dll). Hal yang juga penting bagi rasionalitas dari suatu pendasaran etis adalah derajat penerimaan dari implikasinya di dunia nyata.
Agama ”berkotbah” saat berbicara tentang topik etis, agar dipatuhi, sedangkan Filsafat berargumentasi saat berbicara tentang topik etis. Pelanggaran moral dalam agama adalah suatu dosa. Dari kacamata etika, kesalahan moral adalah pelanggaran prinsip etis. Agama dan Etika menggunakan sudut pandang yang berbeda bila berbicara tentang hal etis. Perbedaan sudut pandang ini membuka mata tentang pentingnya moralitas, juga kepada orang yang tidak beragama. Ketika masih di dalam agama, moralitas diberi daya untuk dilaksanakan. Akantetapi, moralitas bukan monopoli orang agama. Banyak orang menganut etika humanistik, tanpa hubungan dengan agama.
Etika humanistik mendasarkan diri pada martabat manusia. Kuliah etika ini juga mendasarkan diri pada etika humanisitik yang lebih menjungjung tinggi martabat manusia.
K. Alasan menjunjung martabat manusia
Sebagai suatu ilmu yang mengklaim diri rasional, etika juga memiliki pendasaran bagi dirinya. Aliran konsekuensialisme mengambil kebahagiaan umum sebagai dasar. Kaum Deontologis mendasarkan moralitas pada kewajiban. Sedangkan, para pemikir religius percaya bahwa putusan moral harus bertumpu pada KS. Yang manakah dasar etika ?
Etika mulai dengan menjawab kebutuhan manusiawi. Manusia memang butuh etika. Etika berdiri dengan dasar bahwa 1) manusia secara intrinsik berharga, kudus. Selain itu, etika juga bertumpu pada pandangan bahwa 2) manusia memiliki hak-hak kodrati.
Suci dapat diartikan sebagai tak dapat dilanggar. Hidup manusia itu suci berarti bahwa hidup manusia tidak tidak dapat dilanggar, tak dapat dihapuskan. Arti utama kesucian adalah bahwa ada hal-hal yang harus dilindungi dalam situasi apapun dan demi kepentingannya sendiri, hal-hal yagng secara intrinsik dan sangat tinggi patut dihargai.
Manusia secara intrinsik berharga berarti bahwa bernilai pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana. Inilah pengandaikan dasar untuk segala macam pendapat filsafat. Filsafat mulai dengan pengandaian bahwa semuanya memiliki nilai intrinsik positif atau negatif. Filsafat moralpun tidak dapat berlaku tanpa konsep mengenai kebaikan intrinsik. Lalu, darimana kita mengetahui bahwa kehidupan manusia mempunyai nilai intrinsik ?
1. hampir setiap orang ingin hidup, entah secara bahagia atau tidak. Tabiat mempertahankan hidup adalah sesuatu yang instingtif
2. Orang di manapun memperlihatkan bahwa hidup yang sedih dan miskinpun layak untuk dijalani.
3. Bila kehidupan manusia tidak memiliki nilai intrinsik, bagaimana manusia bisa memberikan nilai kepada hal-hal lain ?
4. Orang yang hidupnya tidak melihat adanya nilai intrinsik dalam kehidupan, akan memperlakukan manusia lain secara konsisten, yaitu seperti terhadap binatang.
5. Manusia ada di puncak tataran nilai di dunia, maka punya nilai intrinsik untuk diturunkan kepada nilai sekunder.
Manusia memiliki hak kodrati. Selain hak kodrati kita juga mengenal, hak warisan, hak legal, dan hak sipil. Hak warisan terbawa secara implisit. Hak legal mengandaikan ada sistem hukum. Hak sipil adalah hak legal bagi orang yang telah cukup umur. Sedangkan hak kodrati adalah hak yang mutlak dan universal. Artinya, dimiliki oleh semua anggota bangsa manusia tanpa kecuali. Hak ini dimiliki manusia karena menjadi anggota dari spesiel manusia. Hak ini meliputi hak untuk hidup dan hak untuk kebebasan. Walau terkesan abstrak, hak ini tidak lebih abstrak dair konsep moral lainya (seperti kebaikan, kewajiban, keutamaan, nilai). Kodrati dapat dipahami sebagai lawan dari khusus, sosial, terbatas, legal. Gagasan tentang hak kodrati ini akan kembali muncul pada saat hukum dirasakan tidak adil, menyeleweng. Orang kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang dilanggar oleh pelaksanaan hukum yang menyeleweng. Yang dilanggar adalah harga diri manusia sebagai manusia.
L. Moral dan Hukum
Berbicara tentang etika, tentu juga berbicara tentang moral. Moral sendiri dekat dengan hukum. Seringkali, moral menjadi hukum. Memang benar bahwa hukum itu menggunakan moral sebagai landasannya. Dengan kata lain, moral adalah dasar bagi hukum. Hukum tanpa moral adalah suatu kesewenang-wenangan belaka. Sedangkan moral tanpa hukum itu laksana macan tanpa taring dan kuku. Moral tanpa hukum hanya mengawang awang saja. Hubungan ini nampak dari pepatah ”Quid leges sine moribus”, yang berarti ”Apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moral?”.
Pelaksanaan hukum dijamin oleh moral. Pelaksanaan hukum didasari oleh alasan etis. Hukum, di satu sisi juga berfungsi untuk menjamin pelaksanaan moral, bahkan bila alasan moral itu tidak diketahui secara langsung. Olehkarena itu, dapat dikatakan bahwa hukum adalah batas minimal dari pelaksanaan moral. Kesamaan dan hubungan itu tidak menjamin pelaksanaan keduanya yang sejalan. Seringkali, moral tidak sama dengan hukum sehingga terjadi konflik.
Ada beberapa perbedaan antara hukum dengan moral :
- hukum lebih dikodifikasi daripada moral. Hukum lebih ditulis dengan sistematis dan jelas daripada moral. Oleh karena itu, Hukum memiliki kepastian lebih daripada moral. Norma moral lebih bersifat subjektif sehingga rentan terhadap pengaruh yang meragukan.
- Hukum mengatur tingkah laku manusia dari sisi lahiriah sedangkan moral dari sisi batin. Istilah untuk ciri ini adalah legalitas dan moralitas. Niat baik dan motivasi tidak masuk ke jangkauan hukum.
- Hukum, sebagaian besar, dapat dipaksakan. Tak ada hukum tanpa kemampuan untuk memaksa. Hukum yang tak punya daya paksa bukanlah hukum. Norma etis tidak dapat dipaksakan sebelum memiliki hukum yang mendukungnya. Dengan demikian, hukum hanya menyentuh bagian luar, sedangkan moral menyangkut bagian dalam, atau motivasi seseorang. Sanksi di bidang moral adalah hati nurani yang tidak tenang.
- Hukum didasarkan pada kehendak masyarakat (suku, adat) dan negara. Sedangkan moralitas didasarkan pada norma moral yang melebihi individu dan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat mengubah hukum sedangkan masyarakat tidak dapat membatalkan suatu norma moral.
M. Manusia dan Pribadi
Apakah ukuran pribadi itu ? Apakah Pribadi hanyalah mereka yang secara aktual memiliki kemampuan mental tertentu ?
Kaum personisme memandang bahwa manusia berhak hidup hanya jika mereka merupakan pribadi (sesuai dengan arti pribadi ). Yang dianggap pribadi, secara umum adalah makhluk berpikir, intelegen, punya akal, refleksi, ingatan dan kesadaran diri. Yang gagal menghayati kondisi sebagai pribadi, tidak dianggap sebagai pribadi. Penghormatan kepada manusia dianggap tidak rasional karena berdasarkan semata pada agama.
Kaum Personalisme menekankan bahwa kehidupan manusia harus dihormati. Nilai intrinsik kehidupan manusia tidak berkaitan secara luar dengan agama khusus. Hal ini nampak dari kecenderungan untuk mempertahankan kehidupan, memelihara jenis, merawat anak, merawat orang tua. Logikanya adalah : 1)Moralitas harus demi kesejahteraan manusia 2) Moralitas menghormati pribadi manusia 3) Pribadi = makhluk manusia secara keseluruhan
Menghormati pribadi = menghormati makhluk manusia secara keseluruhan
Kata ”pribadi” tidak memiliki satu arti. Akantetapi, ia bisa menjadi dasar bagi pelaksanaan keadilan yaitu karena setiap orang memiliki hak kodrati yang sama. Ditegaskan lagi bahwa kata ”manusia” lebih memberikan dasar bagi pernyataan filsuf bahwa pelaksanaan keadilan perlu dijamin dengan adanya hak kodrati.
N. Manusia dan Binatang
Bila moralitas dan juga etika merupakan ciri khas manusiawi, bagaimana relasi manusia dengan binatang, tumbuhan, mesin dan benda lain ? Terhadap binatang, ada dua pendapat besar. Pertama, manusia dianggap tidak memiliki tanggungjawab apapun terhadap binatang. Pandangan spesiesme menyatakan bahwa hanya spesies manusialah yang pantas dihormati, lain tidak. Kedua, hidup manusia tidak lebih berharga daripada binatang. Jadi, pembelaan terhadap kehidupan manusia perlu juga disejajarkan dengan pembelaan terhadap kehidupan binatang. Terhadap pandangan semacam itu, kita sendiri dapat menyatakan bahwa tidak semudah itu. Hal yang pantas dijadikan pegangan adalah bahwa kita mengetahui mana tindakan yang kejam dan mana yang didasari oleh cinta kasih. Dalam hal mengurutkan persoalan moral kali ini, kita perlu melibatkan insting kita tentang mana yang kejam dan mana yang tidak.
O. Manusia dan Mesin
Bagaimanakah kita bersikap terhadap mesin ? Perlukah kita menaruh hormat kepadanya? Bagaimana kita menempatkan relasi kita dengan mesin ? Kita bisaa mulai dengan melihat bahwa manusia dihormati semata-mata karena manusia adalah manusia. Terhadap mesin, kita bisa seenaknya sendiri. Pendapat reduksionis melihat bahwa pikiran manusia itu sama saja dengan komputer. Pikiran Manusia sering dianggap sama seperti computer, hanya lebih rumit sedikit. Inilah pemikiran reduktif. Secara lebih ekstrem, dapat dikatakan bahwa manusia terdiri dari atom-atom tertentu, sama seperti benda yang lain. Dengan dasar ini, sangat sulit untuk memberi pendasaran mengapa manusia perlu menghormati orang lain. Kesucian manusia kemudian menjadi suatu takhayul yang tak pantas diikuti. Pemikiran reduksionisme terlalu banyak memotong kemanusiaan, yang memang berbeda dengan “benda” lain.
Pikiran manusia tidak sama dengan pikiran komputer karena pikiran komputer tidak ada isinya. Tidak ada isinya karena tidak ada hubungan langsung dengan dunia kodrati non manusiawi. Peran dunia alami ini, pada komputer diisi oleh perancang manusia (yang sudah memiliki bahasa). Bahasa manusia memiliki hubungan fundamental dengan arti dan dengan dunia alami.
Contoh : kata ”kuda” menunjuk pada realitas ”kuda” dengan segala ciri-cirinya, dengan segala pengalaman yang dimiliki manusia dengan kuda, dengan segala potensi dan kemungkinan yang mungkin bisa dilakukan dengan realitas kuda. Komputer dapat mengolah data kata ”kuda” dan memberikan definisi, tetapi definisi itu milik manusia yang ”diawetkan” di dalam komputer. Komputer bisa menyimpan gambar kuda, menyimpan sosok kuda, ataupun bisa mencocokkan gambar kuda dengan kata”kuda”. Semua itu diisikan oleh manusia, tanpa langsung bersentuhan dengan realitas kuda. Di hadapan realtas kuda, komputer tidak dapat bereaksi, tidak dapat berbuat apa-apa.
Bila salah satu kemampuan berpikir adalah mengingat dan menghubung-hubungkan, komputer memiliki salah satu kemampuan ini. Tetapi berpikir tidak sekedar mengingat dan menghubung-hubungkan, tetapi juga mengambil keputusan. Mengambil keputusanpun, tidak semata didorong oleh logika (apapun itu), tetapi juga melibatkan perasaan.
Mesin tak punya hasrat dan insting, serta emosi yang merupakan produk dari evolusi.
Kekurangan mesin : tak ada hubungan logis yang mengaitkan secara bersama-sama keyakinan-keyakinan dan keadaan budi (kalau punya). Hubungan yang ada dalam mesin adalah listrik. Hubungan itu tidak bisa meniru hubungan antara ingatan, keyakinan, hasrat dan emosi manusia. (Binatang juga punya keyakinan, ingatan dan emosi, hanya saja kurang. Keyakinan dan perencanaannya kurang daripada kita.)
Apakah pernyataan manusia berpikir dan mesin berpikir, menunjukkan realitas yang sama ?
Ada jurang antara ”pemikiran manusia dan mesin”. Kata ”berpikir” hanya digunakan secara metaforik pada mesin. Yang terjadi, seringkali pemakaian secara metaforik ini menjadi harafiah. Akibatnya, disamakan bahwa mesin dapat berpikir sama dengan manusia. Di titik ekstrem, reduksi ini menyamakan manusia dengan mesin. Di titik lain, terjadi reduksi manusia ke dalam bahan-bahan penyusunnya. Totalitas manusia dianggap sebagai hasil penjumlahan unsur-unsur penyusunnya.
Logika berpikir semacam ini terjadi secara sistemik dalam skala yang lebih besar. Logika yang dimaksud adalah logika sistem. Sistem terdiri dari unsur-unsur dengan susunan tertentu. Bila semua unsur dipenuhi dan disusun dengan tepat, sistem akan berjalan. Itu yang terjadi di dalam mesin. Keberlanjutan mesin dijamin dengan sistem yang tepat. Kerusakan atau disfungsi dari mesin disebabkan oleh sistem yang tidak pas. Kerusakan mesin bisa diperbaiki dengan melihat manual yang memperlihatkan sistem apa yang digunakan. Perbaikan adalah suatu penempataan kembali unsur-unsur yang dipersyaratkan ke dalam susunan yang tepat.
Di lingkup yang lebih luas, manusia kemudian dilihat sebagai bagian dari sistem yang lebih besar, misalnya masyarakat, negara, bangsa. Manusia hanyalah bagian kecil penyusun sistem. Manusia hanyalah baut kecil dalam sistem mesin raksasa pabrik ”masyarakat”. Cara pikir semacam ini adalah reduksionis, menyamakan manusia dengan mesin. What’s the matter ?
Keyakinan etis yang kita pelajari adalah bahwa manusia adalah pribadi. Oleh karena itu, manusia pantas dihargai, dihormati. Manusia pantas dihargai semata-mata karena ia adalah pribadi. Itulah conditio sine qua non dari etika.
July 17, 2008
Handout Etika Sosial (ATMI)
Diposkan oleh Mahatma di Thursday, July 17, 2008
Label: handout kuliah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Powered by Blogger.
Copyright © 2011 mahatmaberkata-kata
Designed by headsetoptions, Blogger Templates by Blog and Web
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.