November 17, 2008

Rabbit-Chasing Syndrome

Bond : “ Anda tak lagi bisa mendapat informasi dari X, (dead end)jalan buntu” !
M : “ dead end (jalan buntu?)”, Kamu membunuhnya lagi ? “
Cuplikan dialog di atas diambil dari film terbaru James Bond, Quantum of Solace (Columbia Pictures, 2008). Dalam film tersebut, Sang Tokoh Utama, yang diperankan oleh Daniel Craig, ditantang untuk memisahkan dendam pribadi dan tugas Negara. Kisah dimulai dengan adegan kejar-kejaran mobil, langganan film 007, antara Bond dan para pengawal Mr. White. Di awal kemunculannya, Bond ditampilkan sebagai agen yang loyal dan berdedikasi tinggi. Hal ini terbukti dengan membawa Mr. White tanpa membunuhnya. Dalam perjalanan plot, Bond disituasikan untuk membunuh lawan-lawannya secara sadis. Bond ditampilkan sebagai agen yang kejam sekaligus loyal. Dendam pribadi karena kekasihnya dibunuh, menjadi salah satu alasan mengejar the invisible gang yang menyebar agen di tubuh organisasi-organisasi Rahasia.

Berpijak pada film di atas, kita dapat mencermati sisi manusiawi yang semakin jamak diangkat dalam dunia perfilman. Ambil contoh, film Batman (2008) yang juga mengisahkan tugas BATMAN dan Bruce W. yang saling bertemu. Batman dihadapkan pada kenyataan bahwa yang dilakukan selama ini tak lain daripada suatu kejahatan yang dilegalkan. Cara menangkap penjahat, tidak mengikuti prosedur hukum. Sementara itu, Bruce sendiri juga dihadapkan pada persoalan dengan mantan pacar dan persoalan identitas. Pertemuan antara persoalan manusiawi (yang berhubungan dengan manusia lain), dengan persoalan yang ditemui dalam pekerjaan atau tugas seringkali tidak saling mendukung. Selama ini, solusi umum dalam hal ini adalah dengan cara memisahkan,

switch. Seperti memindah chanel TV dengan remote control. Saat ada di rumah, dunia pekerjaan diharapkan ditinggalkan. Saat ada di tempat kerja, dunia rumah “dihilangkan”. Dunia yang berbeda, meminta penanganan yang berbeda. Kedewasaan kita sebagai manusia, seringkali, diukur dari kemampuan kita untuk switch dari satu dunia ke dunia yang lain. Selain itu, tuntutan kerja membawa kita pada pemahaman bahwa situasi kerja harus dihilangkan dari segala macam persoalan dari rumah. Situasi kerja adalah bebas nilai. Dengan kata lain, kemanusiaan, kehendak, harapan, pertanyaan, keraguan, harus dihapuskan. Dunia kerja semakin menuntut manusia mengikuti logika kerja. Logika ini, sering kita dengar dengan ungkapan Lakukan Komitmen Tanpa Dipertanyakan (LKTD).

Ukuran kedewasaan manusia seringkali diukur dari kemampuan memisahkan persoalan pribadi dengan tugas. Bila demikian, manusia dengan segala kemanusiaannya, harus rela diabaikan di dalam dunia kerja. Manusia harus memposisikan diri sebagai non manusia, karena dilucuti dimensi kemanusiaannya. Dimensi kemanusiaan yang seringkali dilekatkan pada manusia adalah sebagai animal rasionale. Dengan Rasio, manusia membedakan diri dengan mahkluk lain. Manusia bukanlah sekedar instingnya. Manusia tidak didefinisikan berdasarkan instingnya. Hasrat dan insting yang menjadi drive bagi binatang, tidak dengan sendirinya menguasai manusia. Manusia dapat mengendalikan diri dengan rasionya. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Binatang berdiri dengan kedua kakinya sedangkan manusia berdiri dengan pendiriannya.

Salah satu pendapat berhubungan dengan perbedaan manusia dan binatang adalah teori rabbit-chasing syndrome. Sindrom yang diambil dari dunia perburuan. Sindrom ini mengenai para anjing pemburu yang ingin mengigit hewan buruan. Seekor anjing pemburu, dilatih untuk membantu pemburu. Tugas anjing pemburu hanyalah sampai pada menunjukkan lokasi dan mengurung hewan buruan.Tetapi tidak membunuhnya. Pemburu-lah yang akan menembak hewan buruan (contohnya kelinci). Anjing pemburu dilatih untuk mengingkari hasratnya untuk menggigit hewan buruan. Keberhasilannya sebagai anjing pemburu diukur dari kemampuannya untuk mengingkari hasratnya sebagai anjing yang biasanya bertindak berdasarkan hasrat. Anjing yang mengingigit anjing buruan, lebih dari mengurungnya, disebut mengidap rabbit-chasing syndrome.

Membawa istilah rabbit-chasing syndrome dan menganalogikan ke dalam relasi manusia pekerja dapat membantu kita untuk menganalisis permasalahan di atas. Bila kedewasaan manusia pekerja diukur dari kemampuan memisahkan tugas dan permasalahan pribadi, dapat juga dikatakan bahwa manusia pekerja yang dewasa adalah yang tidak mengidap rabbit-chasing syndrome. Sebagian besar dari kita akan setuju dengan pertanyaan ini. Namun, bila kita tilik lebih jauh, dalam arti kita tarik sampai pada titik ekstrem, akan nampak suatu kecenderungan yang fatal. Memisah-misahkan manusia yang satu dan sama dalam beberapa kriteria, adalah suatu kemunduran.

Dalam dunia kerja, tuntutan tanggungjawab dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas, seringkali, membawa orang untuk mengesampingkan persoalan pribadi. Seperti sudah dikatakan di atas, manusia kemudian direduksi kemanusiaannya dan menjadi sekedar pelaksana tugas. Dalam titik ekstremnya, manusia akan menjadi robot yang terprogram untuk melaksanakan tugas yang diberikannya. Manusia-manusia menjadi robot yang sangat patuh dan dapat diandalkan oleh pemberi tugas. Sekali lagi, walaupun menjadi robot yang dapat diandalkan, tetapi tetap saja robot. Robot-robot yang terprogram oleh sistem ini sangat “disukai” oleh “pemilik” robot. Dengan kata lain, kedewasaan manusia pekerja, lebih banyak menguntungkan para pemilik modal. Dalam pekerjaan yang sudah terprogram, yang memiliki Standart Operating Prosedure (SOP) yang jelas, interpretasi menjadi tabu. Memang, tujuan dari pembuatan program kerja yang jelas serta SOP yang jelas adalah demi efisiensi. Semakin banyak interpretasi akan membuat program tidak terlaksana. Program dengan Timetable dan job Description yang jelas adalah salah satu bukti kepiawaian dari seorang manager. Kesuksesan program seringkali hanya menunjukkan kepiawaian dari manager tanpa melihat kualitas para pelaksana, selain semata, ketaatan pegawai. Di sana, kualitas pegawai adalah ketaatannya. Dengan kata lain, yang dibutuhkan dari seorang pegawai adalah ketaatannya terhadap program.

Melihat situasi semacam itu, pertanyaan tentang kemanusiaan menjadi sangat relevan. Refleksi tentang manusia, kerja, sistem dan modernitas dari beberapa pemikir mulai dari Karl Marx sampai dengan Marx Horkhaimer, dapat digunakan sebagai bahan pembanding. Manusia membuat sistem untuk membantu hidupnya. Lama-kelamaan manusia terkurung dengan sistem tersebut. Pertanyaan yang mengemuka adalah : apakah manusia dikuasai alat ataukah manusia menguasai alat. Salah satu film yang memperlihatkan ketergantungan manusia dengan mesin secara ironis adalah Modern Times(Charlie Chaplin,1936). Dengan sangat cerdik, Charlie Chaplin (Sutradara, Produser, Penulis Naskah sekaligus pemain) memperlihatkan kehidupan para buruh yang disesuaikan dengan mesin produksi. Manusia bukan lagi membuat mesin yang membantunya, namun menyesuaikan diri dengan mesin yang dibuatnya. Bahkan manusia hanya merupakan salah satu “sekrup” dari seluruh bangunan “mesin” kapitalisme. Ia hanya menjalankan salah satu tugas dari seluruh tugas yang tak diketahuinya. Manusia tidak tahu untuk apa bekerja dan apa hasil kerjanya (Karl Marx). Sudah sejak awal abad 20, manusia berada di belakang mesin-mesin, bukan di depan mesin-mesin.

Di hadapan kenyataan tersebut, refleksi dari para pemikir aliran Frankfurt menghadapi jalan buntu (dead end). Tidak ada lagi yang dapat dilakukan terhadap kedigdayaan sistem yang telah mengikat kita. Di hadapannya, kita hanya bisa pasrah. Para pemikir kemudian mengarahkan pada tindak seni. Ada yang membawa pada puisi. Puisi dianggap sebagai tahap pemikiran paling purba yang dapat mengangkat kembali kemanusiaan. Pemikir tahap selanjutnya, membawa optimisme dengan gagasan tentang rasio komunikatif. Optimisme ini dibawa oleh Jurgen Habemas dengan Rasio Komunikatifnya.
Rasio Komunikatif dari Jurgen Habermas ingin memberikan ruang bagi salah satu dimensi kemanusiaan yang dianggap hilang. Secara sederhana, pemikiran Habermas ingin merefleksikan manusia dari dimensi komunikatifnya. Selama ini, manusia banyak dilihat dari sisi kerja. Manusia didefinisikan dari kerjanya. Dalam kerja, manusia berelasi dengan mesin-mesin. Berhadapan dengan mesin, manusia ingin menguasai. Padahal sebenarnya ia telah dikuasai dengan logika mesin. Seluruh usaha manusia dalam mengusai mesin, adalah cara mesin menguasai manusia. Ketergantungan adalah salah satu buktinya. Selain itu, relasi dengan mesin yang statis dengan logika numerik dan terukur membuat membuat manusia harus menyesuaikan diri. Manusia dihargai sebagai angka-angka belaka, bukan sebagai manusia. Manusia adalah barcode yang harus terbaca pada mesin absensi, manusia adalah nomor-nomor yang harus dihubungi dengan telepon, manusia adalah nomor-nomor yang tercetak dalam mesin ATM. Logika relasi antar manusia dengan mesin terstruktur dalam manusia pekerja. Oleh karena itu, sangat wajar bila dikatakan bahwa kedewasaan manusia pekerja ditentukan oleh kemampuannya untuk swicth menjadi „mesin“.

Relasi manusia dengan mesin dibawa dalam relasi manusia dengan manusia. Manusia direduksi semata sebagai alat. Habermas mencoba melihat dari sisi lain, dari kehidupan sehari-hari yang sederhana. Dalam kenyataanya, manusia berkomunikasi satu sama lain. Manusia adalah agen komunikasi yang mendefinisikan dirinya dalam komunikasi satu sama lain. Dengan komunikasi, manusia menyatakan siapa dirinya dan mengembangkan dirinya. Dengan komunikasi, manusia memanusiakan orang lain. Berkomunikasi adalah sekaligus menghargai diri dan memanusiakan orang lain. Di hadapan system yang sudah satu langkah di hadapan kita, kita tidak harus kehilangan kemanusiaan kita. Dimensi komunikasi yang rasional menjadi salah satu pintu keluar dari jalan buntu (dead end) yang dilihat oleh para pemikir aliran Frankfurt.

Lalu bagaimanakah kita akan melihat itu semua dalam kaitan dengan 40 Tahun ATMI ? Sebagai lembaga pendidikan yang mendidik tenaga ahli mesin, ATMI pasti berhadapan dengan mesin. Relasi manusia dengan mesin, menempati porsi yang besar dalam pendidikan ATMI. Pertanyaan di atas sungguh sangat relevan, apakah manusia dikuasai mesin atau menguasai mesin. Setelah menghasilkan sekitar 4000 lulusan, bagaimanakah profile lulusan ATMI ? Dari tiga semboyan yang dibawa yaitu competensia [berdisiplin tinggi, teliti, dan konsisten pada mutu], conscientia [memiliki tanggung jawab moral], dan compassio [memiliki kepedulian pada orang kecil dan cinta kasih], manakah yang pantas disyukuri sebagai hasil pendidikan ATMI ? Apakah profil lulusan ATMI segera nampak dari segi competensia , conscientia, dan compassion ? Apakah ATMI mencetak manusia dengan rabbit-chasing syndrome ? Dengan kata lain, apakah pendidikan ATMI semakin memanusiakan manusia, atau semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya ?

Di sisi lain, kita semua dapat berefleksi, mengingat ATMI bukan hanya siswa dan pendidiknya, juga bukan hanya di Surakarta. ATMI sudah berkembang. Bagaimanakah Kedewasaan manusia pekerja ATMI ? Bagaimanakah komunikasi yang terjalin ? Semoga di ulang tahun ke 40 ini, ATMI semakin kokoh mendidik ahli mesin yang tetap menjadi manusia.
mahatma chryshna

1 komentar:

Anonymous said...

apik tenan tulisanmu mas
sampe terkagum2 aku
klo yg soal dimensi kemanusiaan di film mungkin perlu ditambahkan satu lagi yaitu spiderman dengan tokoh jahatnya sand man sedikit berbeda memang tp dari kejahatan yg dilakukannya dia mendasarkan pada kasih yaitu krn semua ini dilakukan demi anaknya
dan toh tetap dia mau bertanggungjawab akan kejahatannya
lagu kita semua boleh berefleksi
bahwa kejahatan atau kebaikan bukan lagi tentang hitam dan putih
namun juga ada area abu2 disana
hehee
dadi ngelantur yo aku
:D
tapi apik tenan wis
salut aku mas karo kowe

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.