Kamu boleh nakal, asalkan pandai !
Hal itulah yang masih kuingat saat aku SD. Saat itu, salah satu om yang baru saja pulang dari bekerja di Kapal Pesiar berkunjung ke rumahku. Melihat om yang datang, aku usil dan menganggu dia selama berkunjung ke rumah. Dia melihat bahwa aku termasuk anak yang nakal menurut ukurannya. Karena kenakalanku itulah, maka aku diberi nasehat untuk menjadi pintar di sekolah. Menjadi anak yang nakal itu bukan masalah, asalkan pandai. Maka, akupun memperlihatkan nilai-nilaiku yang bagus, prestasi akademis di sekolah yang memuaskan. Omku diam, tak lagi berkomentar.
Sekarang aku mendampingi banyak anak muda. Bila aku ingat nasehat itu, kelihatannya, kepandaian, kepintaran itu derajatnya lebih tinggi daripada menjadi anak baik. Bila aku sendiri mengungkapkan kepada anak-anak dampinganku, kelihatannya tidak ada gunanya lagi. Apakah benar bahwa yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah orang yang pandai tetapi seenaknya sendiri, atau dalam bahasa umum dianggap nakal ?
Banyak diskusi tentang kenakalan remaja, ada yang melihat sebagai sesuatu yang wajar, tetapi ada yang melihat sebagai masalah. Tentu yang menjadi masalah bukan kenakalan anak kecil yang belum bisa dimintai tanggungjawab karena belum tahu apa yang diperbuat. Yang dimaksud nakal di sini adalah pilihan sikap, atas dasar kesadaran sehingga bisa dimintai tanggungjawab. Pertanyaanya, apakah kepandaikan seseorang menjadikannya imun terhadap kenakalan ? Apakah orang yang pandai sajakah yang patut dihargai ? Bila kepandaian adalah anugrah Tuhan, apakah usaha manusia ? Apakah kebaikan tidak mendapat tempat di dalam pendidikan anak ? apakah sekolah hanya akan mencetak anak pandai secara intelektual, dalam arti sempit, pandai dalam mata pelajaran di sekolah ?
Bila memang demikianlah yang diinginkan oleh kebanyakan orangtua terhadap anaknya, menjadi gampang tugas seorang guru, seperti guru les, seperti penjual ilmu, yang penting laku jualannya. Titik. Tak lagi perlu pendidikan nilai, pendidikan karakter bagi anak. Tak lagi perlu ada peraturan sekolah, pokoknya anak nilainya baik, orangtua puas. Tetapi apakah benar demikian ?
Aku termasuk yang tidak setuju dengan pernyataan “anak boleh nakal asalkan pandai”. Alasanku, anak boleh nakal asalkan tahu apa yang membuat dia nakal. Atau nakal yang bermutu. Dalam bahasa Jawa ada yang disebutsembodo. Nakal tetapi pandai itu bukan sembodo, tetapi membandingkan sesuatu yang lain tempatnya. Sembodo itu tanggung jawab dan konsisten. Ada anak yang suka minta ijin keluar kelas untuk suatu tugas kepanitiaan, tetapi dia belajar keras di rumah untuk mengejak ketertinggalan, dan dia bisa mengejarnya. Itu sembodo. Orang yang tidak sembodo bisa ditemui dalam sikap orang yang tidak konsisten. Misalnya, di hadapan orangtua dan keluarga kelihatan jagoan, sok melawan, tetapi di sekolah menjadi penakut. Itu tidak sembodo.
Anak yang nakal tetapi pandai bukan sembodo tetapi semata anak yang bejo, atau beruntung. Di sini ada suatu pertentangan yang tidak seimbang. Dalam perkembangnyannya, internalisasi nilai “nakal tetapi pandai” bisa menjadi “korupsi tetapi pandai”, atau juga “maling tetapi tidak ketahuan”, atau bisa menjadi “penjahat tetapi pejabat”. Akan muncul excuse yang berhubungan dengan nilai yang dianggap lebih tinggi derajatnya. Tak ada yang pasti tentang nilai ini, tetapi ini adalah pilihan yang perlu diambil di antara area abu-abu.
March 14, 2010
Kamu boleh nakal, asalkan pandai !
Diposkan oleh
Mahatma
di
Sunday, March 14, 2010
8
komentar
Label: nakal, pandai, pendidikan, pendidikan karakter, pendidikan nilai, sembodo
March 07, 2010
Masa Kecil : Nostalgia Infantil ?

“Aku tidak mau menjadi dewasa” kata Thomas tegas.
“Aku juga tidak”, timpal Annika.
“Tidak, menjadi dewasa bukan sesuatu yang layak dirindukan. Orang dewasa tidak pernah mengalami hal yang mengasyikan. Yang ada cuma pekerjaan membosankan yang bertumpuk-tumpuk, lalu pakaian yang aneh-aneh, kulit jari kaki yang menebal, serta pajak rumah”. (Pipi Langstrump)
Dialog di atas dikutip dari Cerita Astrid Lindgren, Pipi di Negeri Taka-Tuka. Tiga anak kecil berusaha untuk menikmati hidup sebagai anak kecil dan ingin menunda dewasa karena bagi mereka dewasa identik dengan hal-hal yang serius, hilangnya permainan dan masuk ke dunia yang aneh. Setelah berembuk, mereka minum pil butir yang bisa membuat mereka tidak menjadi dewasa walaupun umur mereka bertambah.
Situasi semacam itu mungkin pernah dialami oleh banyak orang dewasa saat bernostalgia dengan pengalaman masa kecil mereka. Saat manusia dewasa memunculkan kembali ingatan masa kecil, keceriaan, harapan, permainan, lepas, gembira, asyik, dan masih banyak suasana kegembiraan yang menyertai. Apakah ini juga pelarian dari dunia nyata, bahwa manusia itu akan dewasa, bertemu dengan realitas yang lebih luas, berjumpa dengan tanggungjawab, bertemu dengan kesepakatan hidup bersama, bertemu dengan diri yang tidak lagi sama seperti dahulu waktu kecil ?
Bernostalgia kepada pengalaman masa kecil lewat foto, video, barang-barang masa kecil, maupun pertemuan dengan teman masa kecil memang menyenangkan dan menimbulkan gairah untuk mengekalkan masa kecil itu. Dunia anak-anak, dunia yang memang berbeda dengan dunia orang dewasa. Manusia senang berlama-lama dengan dunia semacam itu. Dunia masa kecil adalah dunia di dalam dunia. Dunia yang sama dilihat dari sudut pandang yang lain.
Dunia anak-anak tidak dapat kita buang, kita anggap sepi semata karena dianggap tidak ada. Dunia itu ada, dan masih ada serta menunggu untuk selalu dikunjungi kembali. Dalam bentuk yang agak lain, internet yang disebut dunia maya, memberikan harapan dan jejak tentang dunia anak-anak ini.
Di dunia maya, banyak harapan, potensi yang menunggu digarap. Keduanya punya kekuatan untuk melupakan semua yang harus dilakukan barang sebentar, dan masuk ke situasi tanpa tanggungan, tanpa keharusan melihat diri, bertemu dengan diri dan orang, tetapi bertemu dengan potensi dan citra diri ciptaan.
Beberapa pemikir berpendapat, ini adalah infantil atau malah dekadensi, saat manusia tidak lagi menatap diri, dan bertemu dengan diri dan realitas, tetapi bertemu dengan potensi diri. Ada yang beranggapan ini adalah dunia rekaan pencipta Allah baru. Mungkin Marx akan mengatakan bahwa Internet adalah agama baru yang melanggengkan kapitalisme dan memperlebar jurang kaya miskin. Internet membuat orang lupa akan situasi nyata bahwa masih ada penindasan. Mungkin saja, Marx akan berkata begitu.
Terserah Marx akan berkata apa, juga para filsuf berkata apa. Mungkin dia belum berefleksi dengan Neo si tokoh dalam Matrix. Mana yang nyata mana yang maya semakin lama semakin dibuat kabur. Juga di dunia maya, internet. Mana yang nyata, makin dipermainkan.
Sekarang, Pipin, Annika dan Thomas tidak usah minum pil butir lagi untuk menjadi tetap muda. Di jaman sekarang tinggal online, buka situs jejaring sosial, atau main game, mau jadi apa saja bisa, untuk menunda sejenak kejenuhan, dan permasalahan dalam hidup. Kedewasaan bukan berarti hilangnya “kekanakan” dalam hidup. “Kekanakan” dalam hidup manusia itu tetap hidup. Kapan akan keluar, apakah keluar sendiri atau dibiakkan, tergantung seberapa besar manusia berdamai dengan masa kecilnya. Semakin menyenangkan masa kecil, semakin memanggil untuk diulang-ulang. Tetapi anehnya, semakin suram masa kecil, semakin besar juga keinginan untuk mengulangnya, semacam remidi. Mungkin ada dua jalan ke masa kecil, jalan remidi dan jalan nostalgia. Jalan remidi membuat orang semakin terlihat kekanak-kanakan, tetapi jalan nostalgia membuat orang mensyukuri hidup.
Jalan mana yang akan dilalui, terserah penumpang !
Gambar diambil dari : http://www.joe-ks.com/archives_mar2007/ChildhoodRomance.htm
Diposkan oleh
Mahatma
di
Sunday, March 07, 2010
2
komentar
Label: astrid lindgreen, childhood, dewasa, dunia maya, dunia nyata, masa kecil, nostalgia, pipi langstrump, remidi
March 03, 2010
Tapa Ngrame

Enam tahun yang lalu, aku mulai kuliah di jakarta. Di awal kuliah, aku sowan ke rumah simbah cilik dan beliau berkata “le, luwih becik menawa kowe neng jakarta uga nggladi tapa ngrame. Kui luwih abot tinimbang tapa liyane. Katone urip bebrayat kaya adate, nanging iso ngrerasa lan wigati marang awakmu ing antarane wong rame.” Terjemahan bebas dari nasehat simbah cilik itu kurang lebih “lebih baik bertapa di tengah keramaian dunia ini, lebih menantang dan lebih dapat menemukan diri”.
Sekarang mbah cilik sudah meninggal. Setiap kali aku menatap keramaian, yang kuingat adalah nasehat simbah itu. Keramaian dan dunia bukanlah musuh yang harus dihindari, tetapi locus yang harus dipeluk dengan satu prinsip tertentu. Meninggalkan dunia ramai barang sebentar, mungkin adalah salah satu jalan atau laku dari para spiritualis. Kebutuhan untuk tenang sebentar itu juga pernah direnungkan oleh GnR, November Rain..
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some time...all alone
Everybody needs some time...on their own
Don't you know you need some time...all alone
Waktu untuk diri sendiri, tetap penting, di tengah ramai dunia. Tetapi, tapa ngrame bukan mengasingkan diri, tetapi menghadapi dan tinggal di dalamnya. Ini adalah kearifan lokal, khas jawa yang melihat bahwa situasi dunia memang tak bisa dihindari. Langkah nyata dan konkret adalah tapa ngrame, mau menolong orang lain tanpa pamrih, menawarkan bantuan bagi mereka yang membutuhkan bantuan, semata untuk membersihkan diri. Bentuk lain adalah mendengarkan suara hati dan kemanusiaan.
Tapa Ngrame adalah satu dari banyak pilihan hidup ini yang kurang populer namun layak untuk dijalani. Terimakasih Mbah Cilik, semoga mendapat kedamaian di Surga...
gambar dikutip dari : http://www.dianarodriguezwallach.com/blog/2009/08/why-cocktail-parties-are-ruining-my.html
Diposkan oleh
Mahatma
di
Wednesday, March 03, 2010
3
komentar
Label: november rain, tapa ngrame
Copyright © 2011 mahatmaberkata-kata
Designed by headsetoptions, Blogger Templates by Blog and Web