December 02, 2010

“Mengapa saya menulis [di blog] ? ” (bagian 1)


Pertanyaan tersebut muncul ketika seorang teman menganjurkan bahwa daripada menulis di blog, lebih baik mengirim tulisan ke sebuah media sehingga menghasilkan uang. Mungkin ada benarnya juga, pertama bahwa dengan mengirimkan tulisan ke media massa tulisan tersebut mungkin bisa dimuat (mungkin juga tidak) dan saya bisa mendapatkan uang. Saya pernah melakukannya, dan kebetulan mendapatkan uang darinya. Atau mengirimkan tulisan ke suatu sayembara tulisan dan bila menang (bisa juga tidak) akan mendapatkan hadiah. Itupun saya pernah melakukan dan merasakan hadiahnya. Kedua, ketika tulisan diterima di suatu media massa, kemungkinan dibaca oleh orang lain bisa lebih banyak. Memang menyenangkan apabila tulisan dibaca dan memberikan nilai guna bagi orang lain. Tetapi, pertanyaan di atas menjadi pertanyaan eksistensial bagi saya karena menulis bagi saya tidak berhubungan dengan uang. Baik uang maupun keinginan dibaca adalah efek samping dari tulisan yang pas, atau sesuai dengan kriteria dan kehausan seseorang akan tema yang saya tulis. Olehkarena itu, bila kebetulan temanya pas dan cocok dengan karakter media massa, tulisan saya tentu saya kirimkan ke media massa, dimuat (banyak pembaca) dan mendapatkan uang darinya. Menulis adalah sebuah moment personal bagi saya. Saya menulis (di blog) semata saya ingin menulis sesuatu yang saya temui secara tidak sengaja dalam kehidupan sehari-hari, dan kadang-kadang saya hubungkan dengan bahan kuliah yang sedang saya gumuli. Sesederhana itu alasannya.



Tentu saja, saya memiliki juga alasan yang lebih jauh, berasal dari pergumulan pribadi saya berhadapan dengan tulisan. Keteguhan hati untuk menulis atau menyusun kata-kata tak lepas dari pergumulan saya berhadapan dengan tema skripsi, 4 tahun yang lalu. Saat itu, saya membuat skripsi tentang suatu teks dari Derrida. Di situ saya mulai dengan membaca banyak buku tentang Derrida, komentar tentang Derrida dan mulai masuk ke dalam teks yang saya jadikan bahan skripsi. Pergumulan dengan teks dan dengan Derrida tersebut membawa saya pada beberapa tema tentang “kata”,”pengarang”, “teks”, “tulisan”, “menulis”, dan “wicara”.

Saya tertarik dengan pemahaman umum oposisi wicara atas tulisan warisan Plato. Secara umum, banyak orang mengatakan bahwa wicara atau tuturan memilki superioritas atas tulisan karena tulisan tidak dapat menjawab pertanyaan yang disampaikan kepadanya. Tulisan menjadi suatu monumen bisu terhadap persoalan yang muncul dalam tulisan tersebut. Dengan kata lain, tulisan dianggap sebagai sesuatu yang tidak otonom. Tulisan bisa dikutip dan dan digunakan seenaknya untuk mendukung suatu gagasan atau niat seseorang. Lain dengan tuturan yang dianggap otonom, yang bisa menjawab ketika ada pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Tulisan dianggap seperti anak kecil yang berlari kepada Ayahnya (writer) untuk menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya. Dan Anehnya, Sang Ayah (writer) telah membuang si anak dan melihatnya dari kejauhan tanpa memberi bantuan jawaban. Si anak adalah anak haram yang kehadiran adalah hasil hasrat yang tidak menemukan pelampiasan. Ia dibuang oleh sang pembuat begitu dia hadir.

Cerita tentang superioritas tuturan tentang tulisan yang saya temukan, tidak berakhir dalam argumen tentang otonomi. Tulisan juga dianggap sebagai monumen bisu yang semata melestarikan suatu pengetahuan yang harus diingat. Tulisan adalah suatu ingatan yang dikeluarkan dari pikiran dan disimpan dalam bentuk konkret. Bila demikian, semakin banyak tulisan yang dibuat, semakin banyak pula ingatan yang dikeluarkan dari pikiran sehingga tulisan membuat orang semakin sulit mengingat. Bandingan untuk konsep ini adalah suatu masa sebelum era tulisan dan komputerisasi dan masa sekarang. Saya cukup beruntung mengalami masa harus menghapal banyak hal di masa kecil mulai dari pelajaran di sekolah, P4, IPS, IPA, dan segala ilmu hapal lain, sampai dengan kegiatan di rumah seperti menghafal nomor telepon teman-teman dan tetangga saya. Semua itu membuat ingatan saya cukup terasah sehingga saya bisa mengingat. Ingatan akan terbantu ketika dituliskan. Di situ, tulisan mengikis kemampuan menghapal seseorang. Mungkin, ketika pendidikan belum membuat orang bisa berbahasa baca dan tulis, ingatan adalah tempat menempelkan pengetahuan terbaik. Tentang hal yang dituliskan adalah tentang sesuatu/pengetahuan yang SUDAH diketahui, sudah basi dan bukan sesuatu yang menantang untuk dipikirkan. Itulah superioritas bahasa tutur atas tulisan.

Oposisi di atas memang menempatkan wicara di atas tulisan. Derrida mencoba membalik dengan mempersoalkan oposisi tersebut. Ia tidak sekedar menempatkan tulisan di atas wicara tetapi mempersoalkan oposisi tersebut. Baginya, suatu oposisi mengandaikan adanya hierarki, satu lebih baik dari yang lain dan suatu hierarki sangat rentan terhadap represi. Derrida mau memproblematisasi dengan mengetengahkan suatu tulisan yang yang baik dan tulisan yang tidak baik. Sampai di sini saya semakin tertarik menulis, bukan karena baik atau tidak baik saya menulis, tetapi karena sifat tulisan yang dianggap sebagai anak haram.

Tulisan dianggap sebagai anak haram karena tulisan sering menimbulkan salah persepsi, menimbulkan banyak makna baru dari setiap pembacaan. Setiap pembacaan akan menghasilkan makna yang seringkali berbeda dengan maksud penulisannnya. Kemungkinan suatu tulisan dibaca dengan cara yang berbeda dan menghasilkan makna yang personal di luar makna yang dimaksudkan oleh sang penulisnya adalah sesuatu yang menggetarkan saya. Kekuatan tulisan terletak di dalam segala yang dianggap sebagai kelemahannya. Ciri tulisan sebagai suatu teks yang bisa dibaca itulah yang membuat saya semakin tertarik untuk menulis. Bagi saya, yang sudah tertulis biarlah tertulis. Apapun komentar dan sikap yang muncul dari pembacaan tulisan adalah bagian yang tidak bisa dielakkan dari munculnya tulisan. Sekali ditulis, sekian ribu interpertasi terlahir. Campur tangan sang penulis menjadi hilang. Ketika diharapkan pada teori matinya sang pangarang, di sini, sang pengarang tidak lagi berfungsi sebagai sang tiran otoriter pemberi makna tunggal (the author) tetapi sang pengarang telah menjadi semata penulis (the writer) yang menuliskan kata-kata dengan maksud tertentu tetapi dengan kepala tegak tetap menyadari kemungkinan beranak-pinaknya suatu makna tulisan dari suatu pembacaan.

Di sini, saya teringat dengan satu kisah Klasik Jawa dalam babad Wayang Purwa. Di situ diceritakan tentang Batara Guru yang sedang bercengkrama dengan Istrinya, Dewi Uma. Mereka bertamasya menaiki Lembu Andhini. Dalam perjalanan,wajah Dewi Uma tersapu sinar matahari sehingga wajahnya bersinar dan memancarkan kecantikan yang menimbulkan hasrat. Batara Guru terpesona, dan terbitlah hawa nafsu terhadap Sang Dewi. Hasrat tersebut ditolak oleh Sang Dewi karena Dewi Uma malu melakukan persetubuhan di atas langit di atas Lembu Andini. Hasrat Batara Guru tetap membara walau tidak tersalurkan. Jadilah sperma dari Batara Guru keluar dan berhamburan di samudra raya. Sperma yang merupakan perwujudan hasrat tersebut menghasilkan kekacauan di samudra raya dan tak dapat diatasi oleh para Dewa karena berasal dari Batara Guru, Dewanya para Dewa. Karena berasal dari Hasrat untuk bersenggama, sperma tersebut tetap membentuk wujud ciptaan yaitu seorang Raksasa. Raksasa itu kemudian diberi nama Batara Kala oleh Sang Ayah. Cerita berlanjut pada asal muasal diadakanya upacara ruwatan.

Lahirnya Batara Kala adalah kelahiran yang tidak diinginkan oleh Batara Guru. Ia lahir dari hasrat prokreasi yang tidak mendapat tempat. Ia adalah sang anak haram yang kelahirannya tidak diinginkan oleh Orangtua dan masyarakat. Seperti itu pula, lahirnya aneka makna dari suatu pembacaan teks: Bisa muncul sesuai dengan maksud pengarang, bisa juga bergulir jauh dari maksud sang pengarang. Di sini, Batara Kala pun menunjukkan sifat yang sangat berbeda dan bentuk yang berbeda dari Batara Guru. Suatu tulisan atau teks memuat kemungkinan untuk berubah makna dan bentuk dari sifat mulanya karena ia adalah Anak Haram. Dalam pemahaman akan kayanya suatu makna tulisan dalam interpertasi pembacaan, demikianlah cerita ketertarikan saya menulis menemukan dasarnya.

Dari ketertarikan yang sifatnya mencerahkan di atas, muncul juga suatu alasan lain dalam menulis yang berhubungan dengan sifat khas masyarakat pasar. Ketika segala sesuatu di dunia coba dinilai dengan harga, manusia juga dinilai dari harganya, atau dari apa yang bisa dijadikan sebagai komoditas dalam dirinya. Saya melihat bahwa tindakan saya menulis ini adalah suatu sikap untuk tidak semata menjadi konsumen dalam pasar yang menawarkan banyak kemudahan dan kenikmatan (nonton TV, main game, bermain FB, makan,dll) namun juga melakukan sesuatu yang PRODUKTIF. PRODUKTIVITAS memang merupakan kategori masyarakat industri yang melihat manusia dari apa yang bisa dilakukan. Akantetapi, di sisi lain kategori itu juga bisa membedakan tindakan manusia yaitu KONSUMSI dan PRODUKSI. Ketika saya mencoba untuk menulis, saya menempatkan diri dalam jajaran kegiatan yang PRODUKTIF dan tidak semata KONSUMTIF. Kegiatan PRODUKTIF, saya maknai sebagai suatu kegiatan yang memberi makna pada diri saya sebagai manusia. Inilah alasan kedua saya dalam menulis.

Dalam perkenalan di blog, saya menulis bahwa menulis adalah suatu konsekuensi logis atas proses membaca yang saya lakukan. Sebenarnya, tidak semua tulisan saya adalah hasil bacaan yang langsung saya ungkapkan. Pembacaan menghasilkan kaitan dengan tulisan dalam jarak. Jarak tersebut menyangkut ruang dan waktu. Dengan kata lain, apa yang saya tulis juga berhubungan dengan apa yang saya baca. Pengalaman saya berjumpa dengan realitas membangkitkan kembali ingatan akan bacaan yang pernah saya baca dan menghasilkan suatu hasrat untuk menuliskannya. Makna dari pernyataan saya bahwa tulisan adalah konsekuensi logis dari proses membaca bisa saya hubungkan dengan motif dasar saya menulis yang telah saya ungkapkan di atas. Ketika suatu tulisan dilepas oleh pengarang, otonominya hilang. Bukan otonomi tulisan, tetapi kekuasaan sang pengarang atas makna tulisan yang kabur. Tulisan membiakkan jalinan makna dalam setiap pembacaan. Tidak berhenti di situ, seperti yang saya alami, makna yang muncul dari pembacaan akan tersimpan dan akan segera berubah menjadi hasrat untuk menulis ketika bertemu dengan suatu pemicu. Dalam pengalaman saya, pemicunya adalah pengalaman harian. Suatu tulisan akan memperanakkan kembali tulisan yang juga memiliki kemungkinan dibiakkan terus menerus.

Ceritera panjang di atas, dapat menjelaskan perkenalan saya di blog ini, mengapa saya berkata-kata, mengapa saya beternak kata, mengapa saya ingin mengartikulasikan kata, mengapa saya membaca, mengapa saya menulis [bukan hanya di blog].

“Dunia ditandai kata, alangkah sepinya dunia tanpa kata. Kata memaksa kita untuk berbicara, dan sekrang kita paksa kata untuk mengartikulasikan kita. Berkata-kata !!”

gambar diambil dari : http://www.bigoo.ws/code/preview/227753.htm

11 komentar:

Lilik said...

"Aku menulis, maka aku ada," kata Lilik Decartes, hehehehe.... mantab frat :)

Lexx said...

mengapa saya memberi komen di blog anda???

indrahuazu said...

apa yang kutulis, tetap tertulis...
haha

atmo said...

@lilik : scribo ergo sum .....hahahaha

Mahatma said...

@lexx : tak tunggu tulisane ....

Mahatma said...

@indrahuazu : kelingan paskah dab !!

dek siti said...

bagus om :D
semangat menulis yaa :D
salam kenal :D

hasssan said...

bookmark sek, bacane ntar siang, ngantuk je :p

Mahatma said...

@ipah : salam kenal
@hasssan : oke2, met istirahat....

Wati said...

Ngeblog itu menyenangkan....

Mahatma said...

@wati : setuju bang warta !

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.