August 11, 2012

#1 Dusta sastra yang tak sungguh-sungguh dalam Cerita Cinta Enrico (atau tentang kematian teks)

sumber gambar : SINI 
Sejak manusia mengenal bahasa, cinta adalah pokok bahasan yang sampai sekarang tidak habis dibicarakan. Novel Ayu Utami, Cerita CintaEnrico,  kembali memamerkan kosakata “ cinta” menjadi tatapan awal pembaca.  Penempatan judul yang sangat klise “cerita cinta” membuat  saya penasaran semata karena penulisnya adalah Ayu Utami, yang namanya menjadi jaminan novel  “sastra” Indonesia.  Saya sebut jaminan karena banyak sastrawan yang mengapresiasi, mengkritik entah positif, entah mencaci-maki. Saya membacanya semata karena penulisnya, Ayu Utami. Semata tentang cintakah ?


Ketika menikmati novel ini, saya digiring untuk memasuki suatu dunia seorang “aku” yang masih misterius. Baru di halaman 14, jelas bahwa si “aku” adalah seorang laki-laki.  Saya sendiri semula mengira bahwa si “aku” adalah perempuan, mengingat penulisnya, Ayu Utami adalah seorang perempuan.  Di sini saya menyadari bahwa mengetahui latar belakang penulis bisa mengganggu proses pembacaan.

Setelah cukup yakin bahwa “aku” bukanlah Ayu Utami, saya mulai menikmati novel ini. Si “aku” yang kemudian jelas sebagai laki-laki dengan sebutan Rico (dari Enriko), walau namanya Prasetya Riksa, kemudian mulai menceritakan kehidupannya, sejak kelahirannya di tahun 1958 sampai dengan menikah di tahun 2011. Cerita kehidupan Rico disejajarkan dengan peristiwa bersejarah di Indonesia, mulai dari Pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di hari kelahirannya, sampai dengan masa Reformasi tahun 1998. Setiap ingatan yang dimunculkan dalam cerita, memiliki cantolan sebuah peristiwa sejarah, bahkan kadang dimaknai dalam kerangka sejarah Politik Indonesia.

Cara penceritaan Ayu lewat  “aku” (yang adalah Rico) cukup panjang lebar dan ditutup dengan kesimpulan point-point  atau sebuah pengulangan penjelasan. Hal ini mengingatkan saya pada suatu kuliah atau kotbah yang selalu diakhiri dengan sebuah pengulangan point-point  sebagai rambu-rambu plot agar pembaca tidak tersesat. Selain itu, penekanan itu dibuat agar pembaca semakin terbiasa dengan hal yang ingin ditegaskan oleh penulis (Ayu Utami).

Otonomi sastra

Kenikmatan pembacaan saya itu kemudian kembali terganggu dengan penyebutan tempat dan kejadian yang membawa saya kembali menghubungkan dengan kehidupan pribadi penulisnya. Penyebutan nama Komunitas Utan Kayu, Nama “A” sebagai kekasih Rico, membuat saya tergoda untuk menghubungkan dengan Ayu Utami dan menggiring saya percaya bahwa ceritera ini adalah ceritera tentang orang yang pernah berelasi dengan Ayu Utami, bahkan menggiring untuk membentuk suatu dunia kebenaran tentang ceritera Rico sebagai sebuah ceritera yang benar-benar dialami oleh seorang kekasih Ayu yang kemudian menjadi suaminya. (Suami Ayu bernama Erik Prasetya).  

Persoalan yang muncul adalah tentang otonomi sastra (aliran strukturalis). Sastra dikatakan sebagai sebuah dunia yang otonom, bahkan dikatakan oleh A. Teeuw “…karya sastra merupakan dunia yang otonom, yang tidak terikat kepada dunia nyata dan tidak menunjuk pada dunia nyata,…” (A.Teeuw, 1983:21). Dalam pembacaan Cerita Cinta Enrico, saya terkondisikan untuk mencari informasi tambahan di luar novel padahal,menurut  Teeuw “ …informasi tambahan […] tidak halal kita cari di luar roman..”. (A.Teeuw, 1983:21). Saya katakan terkondisi karena saya diarahkan untuk melakukan analisis ekstrinsik tentang pengarang berhubungan dengan karyanya (Cerita Cinta Enrico).  Salah satu daya tarik dari Cerita Cinta Enrico adalah bahwa pembaca dibawa pada lompatan antara menggumuli dunia rekaan ayu dan dunia kehidupan ayu. Kesesuaian antara ceritera dalam Cerita Cinta Enrico dengan sejarah hidup Erik Prasetya (suami Ayu) dibuka untuk diproblematisir, namun sekaligus menjadi daya tariknya. Saya menunda pertanyaa saya dan melihatnya sebagai kesengajaan yang menghasilkan keindahan. Kelebihan karya Ayu ini adalah membuka pembaca untuk memunculkan banyak pertanyaan relasi teks dan konteks.

Kembali membaca karya ini, saya masih sedikit terganggu karena ingat tulisan Radhar Panca Dahana tentang “Kebenaran dan Dusta dalam Sastra”. Salah satu kalimat yang saya ingat dari Radhar adalah bahwa “Sastra adalah dusta di dalam dirinya”.  Ia menambahkan bahwa dalam sastra, siapapun berhak mendustai siapapun.  Ketergangguan saya itu berasal dari kategorisasi saya akan konsep sastra. Ketika menjumpai sastra yang kehilangan dustanya, saya merasakan kehilangan nuansa sastranya. Dusta telah saya anggap sebagai salah satu kode dalam sastra. Kehilangan dusta inilah yang membuat saya mulai ragu menamai Cerita Cinta Enrico sebagai novel, karena cenderung  biografi. Memang biografipun adalah sebuah sastra (non imaginatif), namun kehilangan dustanya. Kehilangan dusta ini, tidak mengurangi keasyikan dan kenyamanan saya dalam membaca, namun memberikan gambaran tentang sebuah irisan dua buah himpunan dunia dalam cerita dan latar belakang pengarang. Saya melihat bahwa yang dilakukan oleh Ayu adalah sebuah pelampauan kategorisasi antara yang imajinatif dan yang non-imajinatif. Persoalan bisa diteruskan, namun saya memilih kembali membiarkannya dalam tanda kurung demi kenikmatan pembacaan.

Authorship

Tiba di akhir pembacaan, pertanyaan-pertanyaan tentang relasi ceritera dengan dunia kehidupan pribadi penulis terjawab. Ayu menuliskan sebuah bab pamungkas yang bisa dilihat berkaitan, ataupun terpisah dari keseluruhan bab, bab berjudul Catatan Akhir.  Pertanyaan saya, mengapa harus dibuat bab tersebut? Nampak bahwa Ayupun sebenarnya bergulat dengan persoalan imaginatif-non imaginative, antara fakta objektif dan dusta-imaji.  Catatan Akhir ini saya tangkap sebagai sebuah pembenaran atau rambu-rambu bagi pembaca untuk meletakkan tulisan ini sebagai sebuah novel sesuai dengan maksud si pengarang.

Cara tersebut saya lihat sebagai sebuah kelemahan bagi keseluruhan ceritera. Intervensi sengaja si penulis, Ayu, dalam hal ini telah merusak gambaran dunia yang dibangun pembaca, sekaligus merusak keindahan misteri yang ditawarkan sejak awal ceritera ini. Mungkin Ayu tidak tahan dengan situasi dan resiko tegangan sehingga memilih untuk “memutuskan” tegangan tersebut dengan otoritasnya sebagai author.  Dengan demikian, ayu,  si penulis  ceritera (writer), hadir dengan segenap otoritasnya (author). Ditambah lagi, di sampul belakang buku ini tertulis bahwa ceritera ini adalah ceritera nyata. Sebagai pembaca yang menyimpan banyak tanya, ceritera ini bagi saya telah selesai, tak lagi membawa tanya.

Campur tangan penulis dalam ceritera ini saya tangkap sebagai sebuah kematian teks, pembunuhan teks oleh pengarangnya. Atau menrut Derrida, disebut sebagai sebuah bunuh diri teks, ketika dia menganalisis Walter Benjamin. Teks yang telah selesai, bagi saya adalah sebuah kematian teks karena tidak menelurkan makna baru, tidak menawarkan suatu pemaknaan yang beragam. Pemaknaan diputuskan oleh catatan akhir si penulis. Sebagai sebuah novel, Cerita CintaEnrico, berhasil menarik saya sebagai pembaca untuk ikut termenung bersama dengan “aku” yang menyisir sejarah masa lalunya, namun memberikan kesan otoritatif karena kemunculan Catatan Akhir.

Pertanyaan saya tentang cinta dalam Cerita Cinta Enrico malah belum terjawab sampai sekarang, di samping ketertarikan saya akan tiga tema lain yang dari cerita ini [ (1) nuansa psikologis freudiannya, (2) diskusi tentang perkawinan dan (3) ateisme modern] . Saya akan menyimpannya sebagai sebuah PR untuk menulis di blog ini dengan lebih teratur. 
( Selesai. Berseri)

20 komentar:

Jessica said...

thanks for your comment..i didn't see translator on your site so i couldn't read :(

-Jessica
http://www.jumpintopuddles.com

applausr said...

saya juga suka sekali dengan karya ayu utami... bagus banget... yang ini jug saya sudah baca...

Atmo said...

Tks, i will make translation then

Pipit Pito said...

suka konsep "dusta dalam sastra" :D
karena ketika kita menulis, terutama tulisan fiksi, kita terkadang harus keluar dari diri kita sendiri

dafhy said...

Pertama membaca saya juga mengira bahwa "aku" di buku ini cewek mas :D

bunga said...

di novel aku bisa laki2 apa perempuan..

Anonymous said...

Ngatmoo, saiki dadi analisis sastra. Memang mumet nek ndadak dianalisis-analisis barang. :)

Mahatma said...

@pipit pito : iya mbak, makin dusta makin josss

Mahatma said...

@dafhy : hehehe...iya, kesan yang sama

Mahatma said...

@bunga: iya sih, tergantung, tapi jadi mempengaruhi pembacaan juga

Mahatma said...

@mabukkata: eh...kang adin udah melepas kelajangan hehehe..mampir kang.

Nathalie Kartika Putri said...
This comment has been removed by the author.
Nathalie Kartika Putri said...

Lovely book review!

natzcracker

Mahatma said...

tks Nathalie Kartika Putri !

Chintya said...

Nice review ☺

rental mobil said...

pling sneng bca review buku ne.. :D

iklan baris tanpa daftar said...

thx gan dah sharing info bukux..

Mahatma said...

@Chintya Dewi : makasih mbakyu

Sindhu said...

Wah, baca review-nya jd pengen beli nih. Harganya berapa di pasaran?

Mahatma said...

kalo di gramed 50, kadang diskon jadi 47, tapi kalo di TOGAMAS bisa 40. emang bagus tuh..

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.