July 26, 2009

Lemu adalah perayaan kehidupan


Hari ini aku bertemu orang-orang lemu dalam pentas wayang suket mas slamet gundono. Pertama, seorang wanita yang menyanyi pada waktu pembacaan buku mas slamet. Kedua, mas slamet sendiri dan ketiga seorang tokoh yang muncul di akhir pertunjukan dengan mengulang-ulang satu kalimat tanpa ekspresi dan akhirnya keluar panggung.

Menurut Garin Nugroho, dalam salah satu puja puji terhadap Slamet Gundono, lemu merupakan suatu falsafah. Lemu adalah buku. Lemu adalah bulat dan bundar. Lemu ada di sekitar kita. Lemu adalah gelak tawa bahagia. Lemu adalah harapan bagi banyak orang. Lemu adalah harapan yang tersurat dari sapaan ibu-ibu kepada anaknya "makan yang banyak ya, biar lemu".

Di luar puja-puji dan segala macam acara ini, saya tertarik dengan permenungan seorang Garin Nugroho tentang lemu. Dugaan saya, jangan-jangan lemu adalah kedigdayaan seorang manusia jawa. Jangan-jangan, adalah suatu manusia super (overman) Nietzsche a la Jawa. Suatu kelakar yang kelewat jauh memang, tetapi layak ditanggung untuk diteruskan dalam suatu pencarian.

Bila lemu disejajarkan dengan situasi gemah ripah lo jinawi dari pengharapan jawa, maka suatu bentuk kurus, obsesi langsing dan singset adalah suatu pengingkaran dari harapan ideal manusia jawa. Memang, bila masih kecil, lemu identik dengan sehat, dengan lucu, dengan menggemaskan. Secara sosial, juga pada waktu kecil, lemu identik dengan status sosial yang kecukupan. Anak yang lemu adalah anak yang kecukupan secara lahiriah. Seorang anak yang jauh dari orangtua juga sering dinilai dari lemu tidaknya. Bila ia lemu, tentu orangtua (orangtua jawa, minimal) akan merasa tentram, merasa anaknya terawat dan tidak kekurangan suatu apapun. Jadi, lemu di sini mengandung makna tidak kekurangan suatu apapun.

Menginjak dewasa, manusia lemu tak lagi menjadi ideal manusia. Mungkin di jaman kebangkitan kesenian Yunani (Renaissance), lemu menjadi ideal wanita, tetapi sekarang telah berkembang menjadi manusia kurus tinggi langsing dada rata. Lemu dan kurus tidak lagi suatu tanda dari perayaan kehidupan yang tak kekurangan suatu apapun, tetapi menjadi konsumsi mata, konsumsi pandangan. Konsumsi visual itu dibentuk lewat media yang dikonstruksi demi munculnya kebutuhan untuk konsumsi. Kebetulan, saat ini, yang menarik adalah yang kurus, putih, tinggi, dada rata. Karena dikonstruksi bagi konsumsi visual yang mempengaruhi hasrat, muncul kebutuhan dan keinginan untuk menjadi sama-sama kurus, tinggi, dada rata.

Perkembangan ini ternyata telah menghilangkan makna dari pandangan manusia tentang ideal diri. Bila lemu pernah disejajarkan dengan suatu makna sejahtera, suatu penanda yang sangat bermakna. Kali ini, lemu digeser dan digantikan dengan ideal manusia yang kurus, tanpa penyejajaran makna dengan perayaan kehidupan manapun. Kurus tidak berarti tak terawat, tidak berarti miskin, tidak berarti kering. Kurus adalah tujuan dan makna pada dirinya sendiri. Telah terjadi pencurian makna akan perayaan kehidupan dan rasa syukur dengan pergeseran ini. Singkatnya, tak lagi ada nilai di balik suatu hasrat menjadi suatu manusia ideal. Mitos (barthesian) tak lagi bergema dalam penanda kurus.

***
Di tengah pentas, terjadi juga obrolan yang cukup seru di ankringan depan gedung pertunjukan. Temanya adalah pergeseran selera film bokep manusia. Seorang teman bercerita bahwa dia sangat bersyukur karena Asia Carera telah mendidik anak Indonesia sebelum waktunya. Menurutnya, Asia Carera mulai digeser oleh generasi Miyabi. Yang satu menonjolkan tubuh yang sintal dan padat berisi, yang lain mengedepankan wajah sayu, tubuh kurus langsing. Tetapi, dia tetap merasakan bahwa Asia Carera adalah Macan beringas yang atraktif dan pencipta gaya. Lain dengan Miyabi yang pasrah dan jinak. Asia Carena adalah lambang vitalitas. Dan yang lebih penting, menurut teman saya itu, gaya hubungan seksual sebagai suatu kegiatan yang sangat personal, dapat dipengaruhi oleh gaya Asia Carera, tidak oleh Miyabi. Tak heran bahwa teman saya menambahkan nama Carera di belakang nama panggungnya.

Kembali, ini tentang lemu. Bagi saya, lemu adalah penanda bagi perayaan kehidupan, ungkapan syukur akan terpenuhinya kebutuhan rohani dan jasmani. Lemu mengingatkan akan penciptaan, akan pertumbuhan dan akan laku syukur. Tentu saja, saya tak harus menjadi lemu untuk mengingat semua itu. Terimakasih untuk pertemuan dengan kawula lemu malam ini.
Selamat berkarya !!
gambar dikutip dari : http://blontankpoer.blogsome.com/images/monolog_gundono.jpg

9 komentar:

indrahuazu said...

aku yo lemu lho..

raiderhost said...

ak pengen lemu neng keker

Mahatma said...

@ indra : tenane ndra lemu apane ? kok ra kethok ? hehehe...

@ raider : lemu n keker ki ada di fitnes centre

indrahuazu said...

lemu rejekine

genial said...

uda makan sebanyak apapun... kek nya saiia gag bakat dee kang buat gemuk... gmn sii caranya?!?!?! soalnya menilik artikel di atas... gemuk ituu...

Mahatma said...

ya ya ya..mau jadi gemuk ? ato mau digemukin ? hehehe...

mursid said...

wah, ternyata ada yang lebih lemu dari aku...

atmo said...

iyo sid, ana sing luwih lemu tinimbang koe,
dony kae contone heheheh...

Anonymous said...

gemuk itu memang dulu identik dengan kemakmuran dech kayanya. orang2 yunani? romawi? rata2 perempuan2 bangsawannya gemuk2, identik dengan apa coba? status bukan?? tapi sekarang, gemuk identik dengan penyakit. beberapa pendapat mengatakan orang gemuk dekat dengan berbagai macam penyakit. makanya orang rame2 ngurusin badan, padahal nggak juga! orang kurus jg bisa penyakitan! jadi yang bener adalah sehat! hehehe.... mau gemuk mau kurus, yg penting adalah kesihatan paaaakkkkkk...... sehat lahir batin ;P

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.