October 04, 2009

MAUT ! di manakah sengatmu ?


Tulisan ini dimulai dari kegelisahan tentang terrorisme yang disusul dengan banyak bencana alam yang melanda tanah air. Terorisme mereda, gempa melanda.

Kali ini, cerita tentang gempa yang lebih laku di dunia tulisan dan kata. Kata kunci “gempa” lebih sering dipakai daripada kata “ teror”. Bila bisa berkata-kata, mungkin kata “ teror” akan sejenak melepas lega, tugasnya menyampaikan makna kata “teror” semakin ringan. Tetapi, sebetulnya sama saja. Gempa adalah teror yang sebenarnya. Aku teringat F. Budi Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas.

Teror, sebenarnya, hanya hidup dalam benak manusia, suatu kenyataan yang tidak jelas, sejajar dengan hantu, setan, atau genderuwo. Teror adalah teror karena tidak diketahui pelakunya. Inilah ketakutan yang sebenarnya. Kejeniusan teror adalah meninggalkan jejak ketakutan di benak “penonton” pertunjukkan teror. Dalam pengeboman yang menewaskan banyak orang, memporakporandakan bangunan, bukan kematian dan kerusakan yang dituju, tetapi ketakutan-akan-mati yang dituju. Yang menjadi sasaran teror bukanlah para korban yang mati, tetapi orang-orang yang masih hidup yang diharapkan menjadi penonton pertunjukan teror tersebut. Teror adalah drama pertunjukan dengan biaya kematian. Dengan membunuh 50 orang, 50 juta orang akan takut, 500 juta orang akan terkejut. Targetnya adalah massa yang hidup.

Ketika gembong terorisme di Indonesia sudah diketahui, bisa diidentifikasi, lenyaplah cirri teror yang melekat pada diri para pelaku. Tak ada lagi teknologi ketakutan yang dipermainkan saat semua telah diidentifikasi. Sejak Nordin M. Top diidentifikasi sebagai otak terorisme, sebenarnya, tak ada lagi terororisme, selain seorang penjahat target operasi polisi. Penangkapan dan pembunuhannya, melengkapi kisah lunturnya aura teror di tanah air ini. Teror, atau ketakutan yang timbul karena tidak tahu pencetusnya, telah raib.

Sekarang, muncul kembali teror baru dengan nama “gempa”. Gempa muncul dengan tak terduga. Bisa diprediksi, tetapi tidak bisa dipastikan. Ia muncul tiba-tiba tanpa mengetuk, seperti maut. Kedatangannya membenturkan manusia kepada kematiannya face to face. Kematian, yang telah lama disingkirkan dari pikiran manusia, dihadirkan kembali oleh “gempa”. Keengganan manusia untuk berkonfrontasi dengan kematian, tiba-tiba dihadirkan dengan nyata. “Gempa” tidak berpengaruh kepada mereka yang menjadi korban, tetapi telah menjadi suatu “teror” bagi mereka yang “menonton” munculnya. Suatu ingatan asali manusiawi muncul di sini : Kematian adalah kemungkinan yang paling sejati dari manusia.

Di hadapan ketakutan akan kematian, manusia memiliki dua pilihan : 1) memperbesarnya (teror) atau juga 2) melenyapkanya. Pilihan ketiga yaitu melupakannya tak masuk bilangan. Gempa membuat kita tidak bisa lagi kita melupakan atau menghapus kesadaran kita akan kematian.

Kita bisa belajar dari para teroris dalam melenyapkan ketakutan akan kematian dengan mengubahnya menjadi suatu nilai yang memberi aura spiritual sebuah ibadah. Kematian tidak lagi menakutkan, tetapi memesona. Terhadap teror “gempa” beranikah kita berucap “ Hai maut, di manakah sengatmu ? “

gambar diambil dari :
http://www.lomboknet.com/index.php/the-grudge-3-teror-kayako-belum-berhenti

2 komentar:

haris said...

saya kadang sangat resah membayangkan maut, mas. ia sesuatu yg tidak bisa dikatakan atau dikomentari saya kira. terlalu rumit dan tak terjangkau.

Mahatma said...

yup,
banyak dari kita sengaja menghindarinya,

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.