January 17, 2012

Mungkinkah ada ketulusan ? atau tentang Cinta Ibu pada anaknya.


Saya ingin bercerita tentang cinta. Suatu kali seorang rekan bercerita bahwa sampai beberapa tahun berpacaran, dia masih belum yakin bahwa pacarnya mencintai dengan tulus. Sebagai seorang wanita yang cukup aktif dengan berbagai kegiatan dan punya banyak koneksi, teman saya itu sudah sering bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan motivasi. Dunia yang empiris mengajarinya melihat manusia juga dengan praktis. Setiap orang punya kepentingan, demikian ungkapnya.


Beranjak dari pengalamannya, diapun menilai pacarnya yang sekarang memiliki kepentingan dengan mau berpacaran dengannya.  Sebelum berpacaran dengan pacar yang sekarang, teman saya ini pernah punya kesimpulan bahwa pacaran atau punya suami itu tidak penting. Kesimpulan tersebut muncul setelah dia putus dengan pacarnya yang lama.  Cukup lama dia menikmati pendapatnya tanpa berpacara sampai akhirnya datang seorang pemuda yang memberi pengertian baru tentang baiknya hidup punya pacaran dan punya pasangan.   Pemuda tersebut adalah pacarnya yang sekarang. Akan tetapi, setelah berberapa tahun pacaran, teman saya masih juga belum yakin bahwa pacarnya memacarinya dengan ketulusan cinta, tanpa ada pamrih apapun. Beberapa pertanyaan yang sering muncul adalah : Apakah pacarku ini memacari karena punya kepentingan kemudahan relasi ? Apakah dia memacariku semata karena aku punya banyak relasi ? Suatu pertanyaan tentang relasi.

Menanggapi hal itu, saya menimpali bahwa tidak ada orang yang tidak berpamrih. Semua orang berpamrih. Jangan terburu-buru untuk menilai ! Pamrih di sini saya gunakan sebagai suatu kata netral, dengan makna yang sejajar dengan motif. Setiap orang punya motif dalam bertindak. Motif bisa dinilai negatif  maupun positif dalam kacamata moral. Mungkin saja ada orang berpacaran karena pacarnya punya mobil sehingga ada yang bisa antar jemput. Ada juga orang berpacaran karena tertarik dengan hobi pacarnya sebagai fotografer sehingga bisa difoto terus. Apapun tindakannya, selalu ada motif yang menyertai. Tanpa harus cepat menilai suatu pamrih, semua orang itu berpamrih.

Oleh karena itu, perlu ditanyakan bila ada pendapat yang mengatakan bahwa orang perlu bertindak tanpa pamrih, mungkinkah hal itu dilakukan ? Mari dilihat sedikit demi sedikit. Dalam tindakan manusiawi seperti makan, minum, sex, ke belakang, tidur, semuanya didorong dan dilakukan demi suatu motif tertentu yaitu pemenuhan kebutuhan manusiawi. Makan karena lapar, minum karena haus, ke WC karena kebelet. Bila diperluas lagi, tindakan manusia seperti olahraga, mengetik, menyopir, semuanya punya tujuan. Bagaimana dengan tindakan seni ? melukis, bermain music ? Orang ingin mengekspresikan perasaannya dengan music, menikmati music demi sesuatu. Ada motif dalam tindakan, entah motif tersebut dianggap luhur atau rendah oleh tata nilai tertentu. Mungkin penggunaan kata “pamrih” lebih condong pada motif yang dianggap rendah oleh tata nilai moral masyarakat. Bila demikian adanya, biarlah saya gunakan kata motif daripada pamrih. Tiap orang punya motif, entah motif pribadi, surga, atau orang lain.

Saya tidak ingin berjalan bersama dengan Derrida yang merefleksikan “ketidakmungkinnan memberi tanpa mengharapkan imbalan”. Kembali saya ingin masuk dalam cerita cinta. Kepada teman saya itu, bila semua orang punya motif, apakah ada yang salah bila memasukkan motif dalam CINTA ? misalkan saja, saya mencintai pacar saya karena dia cantik, karena dia pandai, karena dia cocok dengan pemikiran saya. Atau juga, saya mencintai pacar saya walaupun dia miskin, walaupun dia bodoh, walaupun dia kuper. Perubahan kata “karena” menjadi “walaupun” adalah perubahan sudut pandang. Walaupun sama-sama punya motif bila ditanya, preferensi penggunaan kata “walaupun” memberikan penekanan pada penilaian cinta. Orang akan lebih merasa dicintai bila ungkapan yang muncul lebih bernuansa “walaupun” daripada bernuansa “karena”. Dan cinta yang semacam itu, dipraktekkan dan dilakukan oleh kebanyakan orangtua, terutama para ibu.

Cinta para ibu terhadap anak-anak mereka dihubungkan oleh suatu “karena” yaitu relasi ibu-anak. Akan tetapi, cinta yang diberikan ibu kepada anak, tetap saja akan diberikan dalam situasi “walaupun”.  Dan di sini letak tantangan bagi mereka yang mencintai. Teman saya itu menambahkan bahwa sekarang yang dia inginkan adalah kenginan untuk lebih banyak memberi, lebih banyak mencintai. Dia lebih ingin punya anak yang bisa dia cintai, bisa dia beri sesuatu, daripada punya pasangan yang seringkali menimbulkan tanya tentang suatu cinta yang “karena”.  Semoga teman saya itu semakin mendalami cintanya dengan pacarnya, saling mencintai “walaupun” dan berjuang dalam cita-cita bersama. Selamat berjuang dalam cinta ! 

2 komentar:

Andhy Rinanto said...

Setelah membaca tulisan ini, Lek Narto jadi terbukakan. Ternyata cinta yang didasari "karena" juga bisa dinilai sebagai cinta tulus, tanpa pamrih ataupun motif. Orang tua saya pernah mengatakan " Yen wong tuo ki ora iso tego karo anak, tapi anak terkadang iso tego karo wong tuo".

Mahatma said...

sarujuk kang

Post a Comment

Silahkan berkomentar bila ada reaksi setelah membaca tulisan di atas.
Terimakasih.

Powered by Blogger.